Kiki Barkiah Tokoh Parenting Inspiratif Berani Berkarya dalam Perbedaan untuk Perubahan |
Hidup memang pilihan, dan setiap
pilihan memuat konsekuensi tersendiri. Terkadang sebagai orangtua, saya memilih
harus menjadi berbeda dengan pilihan kebanyakan orang, terutama dalam memilih
semua hal yang berkontribusi dalam membangun pola pikir dan pola sikap
anak-anak.
(Kiki Barkiah, 5 Guru Kecilku, Hlm
75)
Pertama
kali saya membaca tulisan itu di laman media sosial, dibagikan oleh beberapa
orang teman di beranda mereka, lebih dari setahun yang lalu. Tulisan yang
sungguh membuat saya merasa bahwa saya tidaklah sendiri menjadi seorang ibu
yang menerapkan pola asuh berbeda dari kebanyakan ibu—baik itu teman maupun
kerabat yang saya kenal.
Seringkali Gaza (6th),
putera sulung saya bertanya,
“Kenapa
sih gak boleh nonton film kartun X? Teman-teman aku pada nonton, sama bundanya
boleh, cuma aku yang gak boleh. Padahal itu kan film kartun, film nya
anak-anak.”
Atau,
“Ampun
Bun, masa main HP baru sebentar aja udah diminta lagi. Padahal kan lagi
seru-serunya. Bunda mah pelit! Teman-teman aku boleh main HP berjam-jam sama
ibunya.”
Lain waktu,
“Ini
hari Minggu, Bun. Libur! Masa tetap harus mandi pagi baru boleh main?
Teman-teman juga belum pada mandi kalau main. Malah banyak yang baru bangun
tidur boleh langsung sepedahan. Gaza udah bangun dari subuh, udah solat, tetap
gak boleh!”
…dan masih banyak protes lainnya
terkait aturan yang saya terapkan baginya mulai dari makanan apa saja yang
boleh dikonsumsi hingga aturan jam tidur, yang jika dilanggar akan menuai
konsekuensi berkurangnya jam main bersama teman. Hingga akhirnya saya pun
mendapat predikat sebagai ‘Bunda yang paling banyak aturan sedunia’ dari sang
buah hati tercinta.
Menyandang ‘predikat’ demikian sejak
si sulung berusia sekitar empat tahun kadang membuat saya berpikir, apa
jangan-jangan saya ini berlebihan ya? Over
protective kalau menurut salah seorang kerabat saya. Karena katanya,
biarkan saja anak-anak itu jangan terlalu banyak aturan, nanti sekalinya keluar
malah kaya kuda liar. Tidak hanya kerabat yang tinggal berjauhan, kadang
peraturan yang saya terapkan pun dilanggat oleh orang terdekat seperti orangtua
dan suami, atas nama kasihan pada anak yang masih kecil. Padahal menurut hemat
saya, kalau mau membiasakan sesuatu justru harus sejak dini, agar terbiasa
kelak.
Di tengah rasa galau itu, saya
membaca tulisan karya Kiki Barkiah berjudul “Wahai Aanakku Tidak Apa-Apa Ya
Kita Sedikit Berbeda”. Di situ Kiki bercerita mengenai puteranya Ali—yang saat
itu berusia 10 tahun, yang menjalani pola hidup berbeda dengan teman-teman
sebayanya saat mereka tinggal di Amerika. Contohnya adalah saat Ali merasa ‘gak
nyambung’ mendengar pembicaraan teman-teman \ yang bercerita tentang
games-games populer di kalangan mereka. Disitu diceritakan bahwa Kiki—sang penulis
artikel, tidak mengizinkan puteranya berkenalan dengan games semacam itu.
Sebagai gantinya, Ali difasilitasi beberapa games edukatif seperti lego
desainer, visual programming untuk anak-anak atau membuat program untuk Lego
Robotic. Tak hanya urusan games, Ali bahkan berbeda dengan teman-teman
seusianya untuk urusan tontonan, aktifitas harian dan jenis buku yang dibaca. Keluarga
mereka bahkan sudah sanggup meniadakan televisi di rumah.
Wow, sepertinya ibu ini bahkan
memiliki derajat perbedaan yang lebih tinggi levelnya dari saya, pikir saya
kala itu. Bagaimana tidak, kondisi mereka saat itu tinggal di Amerika, lho!
Memilih untuk menjadi berbeda dalam hal-hal yang terkait dengan aktifitas rutin
di negara lain, pastinya bukan hal yang mudah. Ada lebih banyak tantangan yang
harus dihadapi mulai dari adaptasi, sosialisasi sampai tak adanya teman untuk
sama-sama menjalani kehidupan yang ‘sedikit berbeda’.
Lalu saya pun mulai kepo. Saya telusuri akun media sosial
sang penulis. Di sana ada banyak tulisan lainnya mengenai pengalaman beliau
mengasuh kelima anaknya di negeri Paman Sam tanpa asisten rumah tangga. Apa,
lima? Oh ya ampun, saya saja yang baru dua rasanya seringkali pusing tujuh keliling.
Ini lima! Lainnya, beliau juga menjadi guru homeschooling bagi anak-anaknya.
Fakta ini membuat saya semakin penasaran dengan sosoknya. Kiki Barkiah pasti
bukan ibu biasa. Itu kesimpulan pertama saya. Kesimpulan yang membuat saya
selalu kangen dan menantikan tulisan-tulisan selanjutnya sambil terus browsing, siapa sih perempuan ini?
Psikolog kah? Atau Ustadzah?
Tulisan-tulisan Teh Kiki—belakangan
saya tahu demikian ia biasa disapa oleh follower-nya
yang berjumlah puluhan ribu itu, semakin disimak semakin membuat saya merasa
lebih baik dalam menjalani peran sebagai seorang ibu. Dalam artikel atau puisi
bertema parenting yang rutin ditulisnya paling tidak seminggu sekali itu, beliau
begitu bijak, sabar dan telaten dalam mengasuh kelima buah hatinya. Ada tulisan
yang membuat saya merasa memiliki ‘teman senasib’, ada juga tulisan yang
memberi teguran pada saya, terutama topik tentang kesabaran. Sesuatu yang
rasanya saya miliki dalam porsi sedikit. Lainnya, membuat saya lebih banyak
bersyukur. Setiap topik selalu dibahas dengan cara yang mengasyikkan, tak ada
kesan menggurui, bahkan jika ia menyelipkan kutipan ayat suci Al Qur’an atau
Hadist sekalipun. Ah Teh Kiki, aku
padamu!
Allah memang Maha Tahu isi hati
hamba-Nya. Suatu hari saya ‘dipertemukan’ dengan Kiki Barkiah. Menurut seorang
teman, dia berniat mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam sebuah
program radio online yang diasuhnya,
terkait buku parenting yang saya
tulis. Ah, saya akan diwawancarai oleh perempuan hebat ini? Terasa sebagai
sebuah kehormatan bagi saya.
Selepas program tersebut, saya
beberapa kali kontak lagi dengan Teh Kiki. Tak jarang kami berdiskusi meski
hanya melalui messenger. Diskusi
dengan beliau selalu hangat dan menyenangkan. Di usianya yang lebih muda
sekitar dua tahun dari saya, beliau tampak lebih dewasa dan matang cara
berpikirnya. Kiki Barkiah seorang ibu yang cerdas. Meski berlatar belakang
sarjana Teknik Elektro, namun wawasan yang tertuang dalam tulisan-tulisannya,
membuat saya merasa bahwa ia sudah layak disebut ‘Ustadzah’ atau ‘Pakar
Parenting’.
Waktu berlalu sampai akhirnya Teh
Kiki mengabari bahwa karena satu dan lain hal, beliau akan pulang ke Indonesia.
Kami saat itu banyak berdiskusi mengenai penulisan buku. Katanya, beliau berniat
membukukan tulisan-tulisan yang selama ini memenuhi dinding akun media
sosialnya. Saya menyambut baik kabar tersebut. Pasti akan sagat keren kalau
tulisannya selama ini jadi buku.
“Nanti saya beli, tapi ditandatangani
ya?” pinta saya padanya saat itu. Teh Kiki hanya berujar, InsyaaAllah.
Setelah beberapa bulan, buku karya perempuan
jebolan ITB ini akhirnya launching.
Tak hanya mendapat buku bertandatangan, tapi saya juga berkesempatan menjadi
salah seorang yang dipilih untuk menjadi endorser
buku tersebut. Dan seperti sudah saya duga sebelumnya, buku karyanya yang
diberi judul 5 Guru Kecilku mendapat sambutan luar biasa. Laris sebanyak 15.000
eksemplar di hari pertama terbit! Sungguh suatu prestasi luar biasa untuk
sebuah buku perdana. Tak hanya jumlah eksemplar yang patut diapresiasi, namun
juga keberaniannya untuk menerbitkan buku tersebut di bawah bendera penerbitan
yang dirintisnya bersama suami dan saudaranya. Tidak bisa dipungkiri, Teh Kiki memang
layak mendapatkannya. Tulisan-tulisannya sungguh luar biasa, dikemas dalam
kalimat sederhana namun sarat makna. Menembus hati para ibu di seluruh dunia,
membuat kami—para ibu, merasa dipahami dan dicintai. Tulisan Kiki Barkiah
bahkan mampu menembus dinding ‘momwar’.
Ya, saat Teh Kiki akhirnya menulis topik yang sedang menjadi perdebatan para
ibu di dunia maya, tulisannya tetap menyejukkan, nyaris tak ada pro kontra,
bahkan mendamaikan.
Ah, tak akan habis rasanya jika
harus membahas sosok satu ini. Kiki Barkiah merupakan tokoh Ibu Inspiratif yang
meski sudah jadi ibu dengan jadwal talkshow sangat padat, namun tetap rendah
hati. Tampak dalam salah satu tulisannya tak lama setelah buku ‘5 Guru Kecilku’
beredar. Saya lupa redaksi kalimat persisnya, namun kurang lebih menggambarkan
bahwa ia tak terbiasa dengan rutinitas menandatangani buku atau ‘Jumpa Fans’.
Teh Kiki masih menunjukkan sosok yang sama seperti sebelumnya—saat ia masih
seorang ibu rumahtangga ‘biasa’ yang sibuk dengan rutinitasnya mendidik
anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumahtangga.
Kiki Barkiah, tak berlebihan kiranya
jika saya menyebutnya sebagai tokoh yang ‘Produktif Berkarya untuk Perubahan
dalam Perbedaan’. Sebagai seorang ibu, beliau sungguh paham bagaimana menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Situasi sulit yang dialaminya di negeri orang tidak membuatnya permisif dan terbawa arus. Beliau tetap mempertahankan jati diri sebagai seorang muslimah yang memiliki aturan-aturan yang harus ditegakkan. Tak hanya untuk keluarganya sendiri, ajaran yang diterapkan beliau juga menjadi referensi bagi banyak ibu di dunia melalui produktivitas serta konsistensinya menulis di dunia maya.
Perbedaan bagi beliau bukanlah suatu hal yang harus disamakan. Seperti diungkapkannya berikut,
Perbedaan bagi beliau bukanlah suatu hal yang harus disamakan. Seperti diungkapkannya berikut,
…Berbeda tidak berarti terasing,
karena kita masih bisa tetap bersama untuk beberapa hal yang sama-sama kita sepakati.
Berdamailah dengan perbedaan, dan bersatulah dalam persamaan. Meski terkadang
kita menemui kondisi dimana kita harus tegas berkata “Hidupku adalah hidupku
dan hidupmu adalah hidupmu” dan kelak kita akan sama-sama
mempertanggungjawabkannya.