Beberapa tahun yang lalu, saat mendengar kata "Menstimulasi Kecerdasan", yang ada di benak saya adalah peralatan berupa beberapa set buku dan permainan edukatif yang bagus dengan harga relatif mahal. Apakah Anda memiliki persepsi yang sama dengan saya? Tentu saja itu tidak salah. Beberapa mainan anak-anak yang dilabeli "permainan edukatif" pada kenyataannya memang mendidik dengan cara merangsang titik-titik tertentu di otak. Beberapa jenis permainan edukatif diadaptasi dari subtes yang ada dalam Tes IQ untuk anak, misalnya seperti lego yang diadaptasi dari subtes "Block Design" yang salah satu fungsinya adalah untuk mengukur kecerdasan ruang/spasial. Nah dalam bentuk mainan, ini bisa digunakan untuk menstimulasi kecerdasan anak di bidang yang sama.
Namun tentu saja tidak semua orangtua mampu membelikan mainan edukatif yang relatif mahal itu. Terus bagaimana, dong? Apakah ini berarti tidak ada kesempatan bagi semua orangtua untuk dapat menstimulasi kecerdasan anaknya?
Dear Parents...
Jangan mudah menyerah dengan keterbatasan. Sebagai orangtua kita ditantang untuk selalu kreatif dalam mengasuh dan mendidik anak. Jika mainan-mainan dengan harga selangit tak terjangkau oleh kantong kita, masih banyak kok sarana lain untuk menstimulasi kecerdasan anak. Bukankah sudah banyak bukti mengenai tokoh-tokoh besar yang berasal dari keluarga kurang mampu? Jadi intinya sih, kita harus menanamkan dulu keyakinan bahwa semua anak (termasuk buah hati kita) bisa cerdas meski dengan fasilitas terbatas.
Berkaitan dengan hal ini, berikut pengalaman saya:
Sebelum hamil, saya pernah membaca artikel mengenai stimulasi otak janin sejak di dalam kandungan. Dimana artikel ini menjelaskan bahwa kecerdasan seseorang dimulai sejak ia berada di dalam kandungan. Ini bisa distimulasi dengan asupan makanan bergizi seimbang dan beberapa treatment, seperti mengurangi stres--karena stres dipercaya bisa menghambat oksigen ke otak janin yang bisa mempengaruhi kecerdasannya, memperdengarkan musik klasik (karena saya muslim, jadi ditambah dengan memperdengarkan ayat suci Al Quran), dan bercerita. Yang terakhir tidak perlu membeli buku cerita khusus. Sekedar berbagi aktifitas pun tak masalah, misalnya seperti ini "Halo dedek bayi, Bunda lagi masak nih. Nanti malam Bunda sama Ayah mau makan ikan goreng. Kalau sudah lahir nanti, kamu pasti suka. Ikan goreng buatan Bunda kan enak sekali, lebih enak dan bergizi dari menu di restoran terkenal!" jangan lupa sambil mengelus perut dengan lembut. Entahlah saya nggak tahu pasti apakah ada penelitian terkait hal ini, tapi saya yakin setidaknya perilaku seperti itu bisa menjalin bonding dengan janin sejak dini.
Setelah buah hati lahir, kebiasaan bercerita masih sering saya lakukan, tentunya ditambah dengan stimulasi lain berupa permainan yang menarik. Sederhana saja sih, dulu saya membelikan Gaza beberapa mainan yang tidak terlalu mahal. Bagi saya yang penting mainan tersebut bersih, warnanya cerah namun tidak mencolok (menandakan adanya zat pewarna beracun), tidak ada ujung yang tajam, tidak berbau menyengat dan menarik, eh...kalau bisa sih berbunyi juga, untuk menstimulasi indera pendengarannya. Selain mainan yang 'betul-betul' mainan, saya juga memperlihatkan perabotan rumahtangga pada Gaza seperti sendok, piring plastik, gelas plastik atau toples beraneka warna. Semua perabot itu saya mainkan misalnya dengan memukul-mukulkan sendok pada toples atau memukul bola plastik menggunakan piring plastik (seperti bermain tenis meja). Bunyi-bunyian yang seru serta gaya atraktif saya jadikan andalan untuk menstimulasi berbagai inderanya. It works! Baby Gaza saat itu bisa tertawa girang dengan permainan "Perabot Ajaib" ala bundanya.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, saya mencoba menarik kesimpulan bahwa enggak perlu mewah atau mahal untuk menstimulasi kecerdasan anak. Dengan mengoptimalkan barang-barang yang ada di sekitar kita saja sudah bisa kok. Yang lebih penting sih kita--sebagai orangtua, tahu kebutuhan anak sesuai dengan usia dan minatnya.
Berkaitan dengan usia,menurut saya ini satu-satunya hal yang bisa kita pertimbangkan saat mau menstimulasi buah hati yang masih bayi. Di masa ini kan belum bisa terlihat apa minat dan kemampuannya yang dominan. Perhatikan saja tabel tumbuh kembang balita yang ada di KMS (Kartu Menuju Sehat) atau bisa juga download di situs-situs parenting. Contoh sederhananya saja jika buah hati kita sudah mau memasuki fase merangkak/berjalan, cobalah memberikan mainan dengan jarak yang agak jauh, sehingga membuatnya tertarik untuk meraihnya. Ini akan membuatnya belajar merangkak/berjalan menuju mainan tersebut (dulu Gaza--putera saya, kadang malas merangkak. Tapi dia punya trik agar mainan itu bisa diambil. Ditariknya sprei/perlak sampai mainan mendekat. Jadi tanpa harus bergerak, mainan tersebut bisa tetap diambilnya. Tapi itu juga melibatkan proses berpikir, bukan?)
Sementara mengenai minat, bisa dilihat saat usia buah hati sudah agak besar. Di usia 1 tahun saya mulai bisa 'meraba' minat Gaza. Dia suka sekali pada mainan konstruktif seperti lego dan puzzle, tapi kurang menyukai alat musik. Pokoknya sesuatu yang bisa menyala/berbunyi sendiri tanpa memerlukan 'treatment' apa-apa, kurang disukai Gaza yang aktif. Dia lebih suka mainan yang bisa dioprek, dibongkar, atau minimal menimbulkan bunyi yang fantastis jika dibanting. Nakal kah? Ah tidak, namanya juga batita, senang bereksplorasi. Meski kadang bikin orangtua ketar-ketir juga, sih (mengingat ponsel yang dibanting Gaza menjelang usianya 1 tahun dan membuatnya tertawa kegirangan).
Oya selain stimulasi berupa permainan atau komunikasi, jangan terlewat juga untuk melatih daya konsentrasi anak. Konsentrasi bisa dilatih dengan berbagai cara. Bagi saya yang terpenting adalah dengan memperhatikan minatnya. Kenapa minat? Karena di usia balita anak kan masih terpaku pada apa yang dia 'suka-tidak suka', bukan apa yang 'penting-tidak penting' atau 'harus-tak harus'. Sederhananya, ikuti saja dulu apa mau anak, setelah itu baru kita boleh berharap anak mau mengikuti kemauan kita. Tentu saja ini tidak berlaku untuk hal yang membahayakan, ya!
Sebagai contoh, putera saya Gaza suka sekali berperan dalam setiap aktifitas kedua orangtuanya. Misalnya jika melihat ayahnya sedang memotong rumput, ia ingin ikut serta. Lainnya, jika dilihatnya saya sedang menulis di laptop, pasti dia langsung menyusup ke tengah-tengah, ingin terlibat dalam pekerjaan saya sambil banyak bertanya. Nah minat inilah yang saya manfaatkan untuk melatih daya konsentrasinya.
"Lihat Gaza, ini angka berapa?" atau "Gaza lihat yang gendut ini huruf B." saya biasanya suka mengetik beberapa angka/huruf dan memperlihatkan layar monitor pada Gaza. Mengajarkan angka/huruf dengan cara seperti ini jauh lebih efektif ketimbang memperlihatkannya melalui media buku atau puzzle angka/huruf. Sambil memencet-mencet kibor, Gaza menghafal deretan angka/huruf yang ada. Saya membantunya menuliskan kata yang dia inginkan di monitor. Dengan cara begini, beberapa huruf yang sering muncul, mampu dihafal relatif lebih cepat oleh Gaza. Demikian juga halnya dengan suami saya. Dia biasanya memanfaatkan kegiatan berkebun untuk mengenalkan berbagai jenis tanaman dan serangga serta aktifitasnya. Sekali lagi, cara ini jauh lebih efektif ketimbang mengenalkan berbagai tanaman dan serangga melalui media buku (setidaknya ini berlaku untuk Gaza).
Nah tidak terlalu sulit bukan? Dalam menstimulasi kecerdasan anak dan melatih daya konsentrasi anak memang bukan hal yang mudah, namun tak sulit juga. Orangtua hanya perlu sedikit berkreasi dan juga terus belajar. Ya, bukankah memang sudah tugas kita sebagai orangtua untuk mengasuh dan mendidiknya? Jadi yuk kita usahakan untuk tidak mengeluh mengenai 'fasilitas' atau membanding-bandingkan kecerdasan anak dengan anak lainnya terutama bila itu berkaitan dengan fasilitas. Misalnya saja, "Ah si A sih pintar wajar, mainannya banyak, sekolahnya mahal" dan lainnya. Percaya diri saja, bahwa dengan fasilitas dan dana seadanya, kita juga bisa mnciptakan "Si Jenius" dari dalam rumah, insya Allah :)
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Kontes Blog Mom And Baby's Diary--Sevenseas" Periode 7: Bagaimana Cara Menstimulasi Kecerdasan Anak
Subtes Block Design, yang mengisnpirasi permainan tipe konstruksi |
Namun tentu saja tidak semua orangtua mampu membelikan mainan edukatif yang relatif mahal itu. Terus bagaimana, dong? Apakah ini berarti tidak ada kesempatan bagi semua orangtua untuk dapat menstimulasi kecerdasan anaknya?
Dear Parents...
Jangan mudah menyerah dengan keterbatasan. Sebagai orangtua kita ditantang untuk selalu kreatif dalam mengasuh dan mendidik anak. Jika mainan-mainan dengan harga selangit tak terjangkau oleh kantong kita, masih banyak kok sarana lain untuk menstimulasi kecerdasan anak. Bukankah sudah banyak bukti mengenai tokoh-tokoh besar yang berasal dari keluarga kurang mampu? Jadi intinya sih, kita harus menanamkan dulu keyakinan bahwa semua anak (termasuk buah hati kita) bisa cerdas meski dengan fasilitas terbatas.
Berkaitan dengan hal ini, berikut pengalaman saya:
Sebelum hamil, saya pernah membaca artikel mengenai stimulasi otak janin sejak di dalam kandungan. Dimana artikel ini menjelaskan bahwa kecerdasan seseorang dimulai sejak ia berada di dalam kandungan. Ini bisa distimulasi dengan asupan makanan bergizi seimbang dan beberapa treatment, seperti mengurangi stres--karena stres dipercaya bisa menghambat oksigen ke otak janin yang bisa mempengaruhi kecerdasannya, memperdengarkan musik klasik (karena saya muslim, jadi ditambah dengan memperdengarkan ayat suci Al Quran), dan bercerita. Yang terakhir tidak perlu membeli buku cerita khusus. Sekedar berbagi aktifitas pun tak masalah, misalnya seperti ini "Halo dedek bayi, Bunda lagi masak nih. Nanti malam Bunda sama Ayah mau makan ikan goreng. Kalau sudah lahir nanti, kamu pasti suka. Ikan goreng buatan Bunda kan enak sekali, lebih enak dan bergizi dari menu di restoran terkenal!" jangan lupa sambil mengelus perut dengan lembut. Entahlah saya nggak tahu pasti apakah ada penelitian terkait hal ini, tapi saya yakin setidaknya perilaku seperti itu bisa menjalin bonding dengan janin sejak dini.
Setelah buah hati lahir, kebiasaan bercerita masih sering saya lakukan, tentunya ditambah dengan stimulasi lain berupa permainan yang menarik. Sederhana saja sih, dulu saya membelikan Gaza beberapa mainan yang tidak terlalu mahal. Bagi saya yang penting mainan tersebut bersih, warnanya cerah namun tidak mencolok (menandakan adanya zat pewarna beracun), tidak ada ujung yang tajam, tidak berbau menyengat dan menarik, eh...kalau bisa sih berbunyi juga, untuk menstimulasi indera pendengarannya. Selain mainan yang 'betul-betul' mainan, saya juga memperlihatkan perabotan rumahtangga pada Gaza seperti sendok, piring plastik, gelas plastik atau toples beraneka warna. Semua perabot itu saya mainkan misalnya dengan memukul-mukulkan sendok pada toples atau memukul bola plastik menggunakan piring plastik (seperti bermain tenis meja). Bunyi-bunyian yang seru serta gaya atraktif saya jadikan andalan untuk menstimulasi berbagai inderanya. It works! Baby Gaza saat itu bisa tertawa girang dengan permainan "Perabot Ajaib" ala bundanya.
Sayur-mayur, salah satu 'permainan' Gaza dalam belajar warna dan berhitung |
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, saya mencoba menarik kesimpulan bahwa enggak perlu mewah atau mahal untuk menstimulasi kecerdasan anak. Dengan mengoptimalkan barang-barang yang ada di sekitar kita saja sudah bisa kok. Yang lebih penting sih kita--sebagai orangtua, tahu kebutuhan anak sesuai dengan usia dan minatnya.
Berkaitan dengan usia,menurut saya ini satu-satunya hal yang bisa kita pertimbangkan saat mau menstimulasi buah hati yang masih bayi. Di masa ini kan belum bisa terlihat apa minat dan kemampuannya yang dominan. Perhatikan saja tabel tumbuh kembang balita yang ada di KMS (Kartu Menuju Sehat) atau bisa juga download di situs-situs parenting. Contoh sederhananya saja jika buah hati kita sudah mau memasuki fase merangkak/berjalan, cobalah memberikan mainan dengan jarak yang agak jauh, sehingga membuatnya tertarik untuk meraihnya. Ini akan membuatnya belajar merangkak/berjalan menuju mainan tersebut (dulu Gaza--putera saya, kadang malas merangkak. Tapi dia punya trik agar mainan itu bisa diambil. Ditariknya sprei/perlak sampai mainan mendekat. Jadi tanpa harus bergerak, mainan tersebut bisa tetap diambilnya. Tapi itu juga melibatkan proses berpikir, bukan?)
Sementara mengenai minat, bisa dilihat saat usia buah hati sudah agak besar. Di usia 1 tahun saya mulai bisa 'meraba' minat Gaza. Dia suka sekali pada mainan konstruktif seperti lego dan puzzle, tapi kurang menyukai alat musik. Pokoknya sesuatu yang bisa menyala/berbunyi sendiri tanpa memerlukan 'treatment' apa-apa, kurang disukai Gaza yang aktif. Dia lebih suka mainan yang bisa dioprek, dibongkar, atau minimal menimbulkan bunyi yang fantastis jika dibanting. Nakal kah? Ah tidak, namanya juga batita, senang bereksplorasi. Meski kadang bikin orangtua ketar-ketir juga, sih (mengingat ponsel yang dibanting Gaza menjelang usianya 1 tahun dan membuatnya tertawa kegirangan).
Gaza, terima bongkar dan gak terima pasang |
Sebagai contoh, putera saya Gaza suka sekali berperan dalam setiap aktifitas kedua orangtuanya. Misalnya jika melihat ayahnya sedang memotong rumput, ia ingin ikut serta. Lainnya, jika dilihatnya saya sedang menulis di laptop, pasti dia langsung menyusup ke tengah-tengah, ingin terlibat dalam pekerjaan saya sambil banyak bertanya. Nah minat inilah yang saya manfaatkan untuk melatih daya konsentrasinya.
"Lihat Gaza, ini angka berapa?" atau "Gaza lihat yang gendut ini huruf B." saya biasanya suka mengetik beberapa angka/huruf dan memperlihatkan layar monitor pada Gaza. Mengajarkan angka/huruf dengan cara seperti ini jauh lebih efektif ketimbang memperlihatkannya melalui media buku atau puzzle angka/huruf. Sambil memencet-mencet kibor, Gaza menghafal deretan angka/huruf yang ada. Saya membantunya menuliskan kata yang dia inginkan di monitor. Dengan cara begini, beberapa huruf yang sering muncul, mampu dihafal relatif lebih cepat oleh Gaza. Demikian juga halnya dengan suami saya. Dia biasanya memanfaatkan kegiatan berkebun untuk mengenalkan berbagai jenis tanaman dan serangga serta aktifitasnya. Sekali lagi, cara ini jauh lebih efektif ketimbang mengenalkan berbagai tanaman dan serangga melalui media buku (setidaknya ini berlaku untuk Gaza).
Nah tidak terlalu sulit bukan? Dalam menstimulasi kecerdasan anak dan melatih daya konsentrasi anak memang bukan hal yang mudah, namun tak sulit juga. Orangtua hanya perlu sedikit berkreasi dan juga terus belajar. Ya, bukankah memang sudah tugas kita sebagai orangtua untuk mengasuh dan mendidiknya? Jadi yuk kita usahakan untuk tidak mengeluh mengenai 'fasilitas' atau membanding-bandingkan kecerdasan anak dengan anak lainnya terutama bila itu berkaitan dengan fasilitas. Misalnya saja, "Ah si A sih pintar wajar, mainannya banyak, sekolahnya mahal" dan lainnya. Percaya diri saja, bahwa dengan fasilitas dan dana seadanya, kita juga bisa mnciptakan "Si Jenius" dari dalam rumah, insya Allah :)
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Kontes Blog Mom And Baby's Diary--Sevenseas" Periode 7: Bagaimana Cara Menstimulasi Kecerdasan Anak
No comments:
Post a Comment