Wednesday, April 23, 2014

Bermula Dari 'SI Jack Dan Kacang Buncis'

“…Jack bersembunyi di dapur. Ia ketakutan. Didengarnya langkah kaki sang raksasa yang berdebum. Fi fai fou! Apa menu makan malam kita kali ini, Bu? Tanyanya pada Ibunya…”

Sampai saat ini dongeng tentang seorang anak bernama Jack yang memanjat pohon kacang buncis nan tinggi hingga mencapai awan tempat di mana seorang raksasa jahat tinggal itu, masih membekas di benak saya. Padahal sudah lebih dari dua dekade yang lalu sejak pertama kali saya mendengarnya, dibacakan dari sebuah buku yang lebar dengan huruf besar-besar dan gambar dengan warna-warna atraktif itu oleh Mamam (baca: Ibu saya).

Menurut Mamam, kisah “Si Jack dan Kacang Buncis” adalah buku cerita pertama yang saya miliki. Beliau membelikan buku itu saat saya baru berusia 2-3 tahun. Mamam selalu membacakannya menjelang saya tidur di malam hari. Kalau tidak dibacakan, saya pasti merengek memintanya. Jadi, saking seringnya cerita itu diulang, lama-kelamaan saya hafal cerita sampai titik komanya. Jika Mamam sudah mengantuk dan melewat beberapa baris saja, saya bisa tahu dan langsung protes.

Melihat minat saya yang demikian besar pada buku, Mamam lalu membelikan buku-buku dongeng untuk anak yang lainnya. Ada ‘Dumbo si Gajah Terbang’, serial ‘Noddy’—boneka kayu yang kepalanya suka mengangguk-angguk, ‘Cinderella’ dan juga kisah-kisah Nabi. Semua cerita itu hinggap di kepala saya dan menumbuhkan imajinasi serta khayalan yang lucu dan heroik. Ya, tentu lucu membayangkan ada labu yang bisa diubah menjadi kereta kencana seperti dalam kisah Cinderella, bukan? Saya pernah mencoba membacakan mantra pada labu yang hendak dibuat kolak oleh Mamam. Manatahu ternyata diam-diam saya punya bakat jadi peri, sehingga bisa menyihir labu menjadi kereta kencana. Konyol, bukan?

Tak hanya membacakan, lama-kelamaan Mamam pun mulai mengajarkan saya membaca dan menulis. Ketelatenan Mamam mengajar membuahkan hasil yang manis. Saya sudah bisa membaca di usia empat tahun, beberapa bulan sebelum masuk TK Nol Kecil. Itu tentu membuat Mamam bahagia. Karena artinya beliau tak perlu lagi membacakan buku cerita untuk anak sulungnya setiap saat. Meski karena itu pula Mamam harus menyediakan budget lebih banyak untuk membeli buku dongeng dan majalah setiap bulannya.

Berawal dari 'Si Jack dan Kacang Buncis'. Berawal dari sekedar menjadi pendengar, lama-lama saat sudah duduk di bangku kelas satu SD, saya melihat sesuatu yang lain dari buku. 

“Mam, yang bikin buku itu siapa, sih?” tanya saya suatu saat.
“Ehm..buku itu dicetak di percetakan.” jawab beliau.
“Bukan, yang bikin cerita yang ada di buku itu siapa?”
“Oh, tentu beda-beda untuk setiap buku. Tuh, nama pengarangnya ada di sampul depan. Lalu di halaman atau sampul belakang, ada fotonya.” begitu jawab Mamam. 

Saya memperhatikan sampul depan dan belakang secara bergantian. Betul yang beliau katakan. Di setiap buku selalu ada nama pengarang. Sementara foto, kadang ada kadang tidak. 

“Kenapa memangnya?” Mamam balik bertanya.
“Aku pengin bikin buku dongeng juga, seperti itu, bisa nggak Bu?” tanya saya singkat. 
“Hmm?” Mamam menatap saya, memastikan maksud pertanyaan itu.
“Bikin dongeng, jadi nama dan fotonya ada di dalam buku. Seperti ini.” tunjuk saya pada sebuah buku. Saya membayangkan alangkah bahagianya jika suatu hari saya bisa menulis dongeng dalam sebuah buku.
“Oh tentu saja bisa!” Mamam tampak terkejut tapi senang. “Kamu mau jadi pengarang cerita?” tanyanya.
Saya mengangguk, “Gimana caranya?”
“Hmm…” Mamam tampak kebingungan, “Begini deh, sekarang kamu belajar mengarang saja dulu. Tulis ceritanya di buku, nanti Mamam baca.”
“Bisa dicetak seperti buku ini nantinya?” saya memastikan.
“Ya kita lihat nanti. Yang penting, menulis saja dulu.” jawab Mamam menenangkan (belakangan saya berpikir, mungkin Mamam bingung bagaimana harus menjawabnya. Maklumlah itu tahun 90-an, dimana profesi penulis di Indonesia tak sebanyak sekarang, begitu pula dengan penerbit. Google? Apalagi itu, belum ada! Jadi tentu Mamam tak paham mengenai hal itu) 

Maka, berangkat dari keinginan untuk bisa menorehkan nama di sampul depan sebuah buku, saya pun mulai belajar menulis sejak saat itu. Menulis apa saja. Pengalaman saat berlibur, saya tulis. Cerita selama seharian di sekolah, juga saya tulis. Atau sekedar menyalin ulang daftar belanja Mamam di dalam sebuah buku harian. Saya menulis setiap hari, saat semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kadang jika malas mengerjakan pekerjaan rumah pun saya tulis di buku harian, cukup begini ‘Dear Diary, aku malas bikin pe-er Prakarya, karena susah’.

Waktu berlalu. Kegemaran saya menulis buku harian terus berlanjut hingga di bangku SMP. Bentuk buku hariannya juga sudah berubah. Bukan lagi buku biasa tapi buku tebal cantik dengan hardcover plus gembok. 

Saat itu bacaan saya juga berubah. Dari yang tadinya suka membaca majalah anak, kini berpindah pada majalah remaja. Di situ lah awal mulanya saya menemukan peluang untuk bisa menerbitkan tulisan. Beberapa majalah remaja umumnya menuliskan bahwa mereka menerima karya berupa cerpen atau cerita bersambung. Betapa senangnya saya saat melihat peluang-peluang itu. Ini membuat kegemaran saya menulis berpindah. Dari yang biasanya hanya menulis pengalaman di dalam buku harian, kini saya mencoba mengetik cerpen di komputer. Saya belajar secara otodidak dari cerpen yang ada di majalah dan buku-buku fiksi remaja. Mengakhiri masa kecil yang penuh dengan dongeng Enid Blyton, saat remaja saya mulai menyukai novel karya-karya Mira W, Pipiet Senja dan Marga T.

Satu dua cerpen   saya tulis lalu kirim ke redaksi majalah menggunakan jasa pos. Tahu tidak, saat pertama kali mengirimkan cerpen, saya merasa luar biasa bangga. Sebelum diberikan pada petugas kantor pos  saya pandangi lagi amplop cokelat besar itu berulang kali dan dibacakan doa agar dimuat. Oya, sebelum dikirim, saya hampir selalu menyempatkan diri memberikan cerpen itu ke beberapa teman sekelas untuk dibaca. Mereka kemudian menyampaikan masukan untuk penyempurnaan cerpen itu. 

Tapi nasib baik rupanya belum berpihak kepada saya. Cerpen yang saya kirim selalu ‘kembali-ke-alamat-pengirim’ alias ditolak oleh media. Kadang ada yang disertai surat penolakan, kadang tidak. Saya suka seandainya ada surat penolakan, karena biasanya di situ ada kritik dan masukan kenapa cerpen saya belum layak muat. Jadi meski kecewa karena sudah capek menulis, tapi paling tidaknya saya tahu apa yang kurang dari tulisan itu. Hingga saya pun terus menulis, tanpa pernah lelah, sampai tak terhitung lagi tumpukan cerpen selama masa SMP-SMA.

Tapi kesabaran saya berbatas. Bertahun-tahun terus mengalami penolakan tanpa pernah sekalipun diterima, saya akhirnya down. Semangat menulis saya rasanya tenggelam ke dasar lautan. Bayangkan saja, hampir setiap hari saya memikirkan ide, mencoba menuangkannya ke dalam bentuk cerita. Setelah selesai, memberikannya kepada teman-teman untuk mendapatkan masukan, lalu merevisi termasuk membetulkan ejaannya dan mengirimkannya ke majalah. Tapi hasilnya nihil. Karya-karya saya selalu ‘kembali-ke-alamat-pengirim’. Lagi dan lagi, terus seperti itu. Padahal saya merasa tulisan itu sudah bagus. Teman-temanku juga bilang begitu. Nggak jauh beda dengan cerpen yang dimuat di majalah, defense mechanism dalam hati ini berkilah.

“Coba deh Mamam baca, memangnya tulisanku jelek?” tanyaku sambil menyodorkan cerpen yang baru saja ditolak pada Mamam. Tanpa banyak bicara beliau membacanya.
“Bagus kok.” ujarnya pendek.
“Tuh kan, redaksi majalahnya nggak adil. Masa ditolak melulu?” saya menggerutu.
“Bagus itu relatif. Mamam sama sekali nggak pinter nulis, jadi segitu menurut Mamam ya bagus. Tapi yang kerja di majalah itu pasti orang hebat dan kreatif semua. Jadi mungkin di mata mereka, segini kurang bagus. Dan ada banyak yang jauh lebih bagus. Itulah yang dimuat. Berusahalah terus, jangan putus asa, jangan banyak mengeluh dan berprasangka…” 
Belum selesai Ibu menasehati, saya memotong “Sampai kapan? Sampai tua? Kalau ditolak terus-terusan sih, jadi nggak semangat.” 
Tapi Mamam tak marah. Beliau memandang lembut. “Tumbuh itu sebaiknya seperti pohon yang ditanam dari biji. Agak lama sih berbuahnya. Tapi kelak hasilnya lebih kokoh karena akarnya sudah menancap kuat di dalam tanah.”  ucap Mamam pelan.
“Maksudnya?”
“Semua yang kita inginkan itu proses berhasilnya macam-macam. Ada yang cepat ada juga yang lama. Yang cepat, biasanya akan cepat terlupakan juga. Sementara yang lama, biasanya bertahan lebih lama.” Mamam diam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya,
“Mamam rasa jadi penulis juga begitu. Oke lah sekarang ditolak di mana-mana. Tapi mana tahu justru di situ ujiannya. Apakah mau tetap belajar, lebih banyak membaca buku, menambah kualitas tulisan dan lainnya. Kalau mau, suatu saat insya Allah akan ada gilirannya untuk tampil jadi penulis hebat, karena kualitas tulisan serta mentalnya sudah teruji. Tapi kalau baru sebentar sudah kalah, ditolak langsung melempem, ya sudah gak usah jadi penulis.” ujar Mamam sambil beranjak pergi. Saya tak menjawab lagi. Betul juga kata beliau.

Waktu berjalan maju. Kurang lebih sembilan tahun dari obrolan di ruang makan itu, akhirnya kemudian pada 2007, saya—si penulis yang langganan ditolak oleh media itu, berhasil menerbitkan buku pertama bergenre psikologi populer, yang ditulis berkolaborasi dengan sahabat saat kuliah. 

Saat buku pertama saya terbit, perasaan haru, syukur dan bangga membuncah dalam diri ini. Saya punya buku! Ya, ini buku saya! Buku yang  saya tulis siang malam di sela-sela pengerjaan skripsi. Buku yang saat proses penulisannya, membuat saya harus bolak-balik perpustakaan, warnet dan tempat penyewaan DVD untuk mencari ide dan referensi. Tidak murah tentu, untuk seorang mahasiswa sekaligus anak kost seperti saya. Bahkan setelah semuanya selesai pun saya masih harus bolak-balik mrevisinya. Tapi saya yakin semua pengorbanan itu akan membuahkan hasil.

Dan benar saja, buku pertama itu pun terbit. Buku yang memuat nama saya di bagian depannya dan memuat foto saya di belakangnya, dengan cover bernuansa pink seperti warna favorit saya. Buku itu dipajang di toko buku besar di setiap kota—paling tidaknya dari kota-kota yang saya kunjungi saat liburan, saya bisa melihat buku itu ada di rak di samping buku-buku dari penulis hebat lainnya. Hingga rasanya ribuan orang bisa melihatnya. 

Sampai tak jarang saya bersikap sangat norak dengan berfoto bersama buku itu di setiap toko buku yang dikunjungi, dengan memakai kamera HP. Terkadang jika sedang pergi sendiri, saya minta tolong satpam atau petugas toko buku untuk mengambil gambar. Dengan malu-malu, saya bilang saja kalau itu buku pertama saya, sambil menunjukkan foto di cover belakang buku.

Ya Allah, impian saya telah menjadi kenyataan. Impian yang saya pancangkan saat masih berseragam putih-merah.. Impian yang—saya yakin—titik awalnya bermula dari dibacakannya buku ‘Si Jack dan Kacang Buncis’ secara rutin oleh Mamam.

Tahun berganti, buku kedua, ketiga dan seterusnya hingga kedelapan muncul satu-persatu. Selain itu cerpen saya juga akhirnya menemukan tempat di beberapa majalah. Tak hanya buku dan pemuatan cerpen di media, pada penghujung 2012 lalu, saya juga berhasil menjadi nominator dalam lomba penulisan skenario film yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Ya, saya mengembangkan sayap ke ranah penulisan skenario juga, meski tak lama. Pasalnya setelah menikah saya lebih memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah, agar bisa mengurus anak-anak sendiri.

Sembilan tahun bagi saya bukan waktu yang sebentar. Saya menjalani berbagai proses, dari remaja yang nyaris frustrasi karena cerpennya selalu ditolak, menjadi remaja yang senang belajar menulis dan terus membaca buku apa saja. Menjadi remaja yang cukup kebal terhadap penolakan dan kritik terhadap tulisan. 

Oya mengenai bagaimana saya akhirnya bisa menerbitkan buku, blog juga memegang peranan yang sangat penting. Pada saat blog mulai booming karena trend blook-nya Raditya Dika, saya pun akhirnya belajar nge-blog. Melalui media satu ini lah saya belajar menulis lebih intensif, meski saat itu tulisan saya hanya berupa cerita-cerita tentang apa yang saya lihat-dengar-rasakan sepanjang menjalani masa kuliah, sementara isi blog teman-teman lebih bagus berupa catatan travelling atau artikel serius, saya cuek saja. Kemampuan saya memang baru segitu, mau bagaimana lagi? Meski demikian saya tetap berusaha menyerap banyak ilmu dari teman-teman baru di dunia maya. Nah dari teman-teman blog inilah saya dikenalkan dengan penerbit yang kemudian tertarik untuk membukukan tulisanku pertama kalinya.

Tak hanya ngeblog, saya juga bergabung di berbagai komunitas penulisan online. Kenapa hanya online? Maklum lah, saat kuliah saya sudah sibuk dengan belajar dan menjadi pengurus senat, menjadi koordinator mading dan bulletin di fakultas. Lagipula dulu itu masih jarang ada pelatihan menulis, kecuali yang diadakan besar-besaran dan berbayar mahal. Tentu itu tidak terjangkau oleh kantong mahasiswa kost seperti saya.

Saat buku pertama saya terbit, Mamih (baca: nenek saya) termasuk salah satu orang yang sangat bahagia. Pasalnya dulu saat aku masih kecil, beliau—selain Mamam, adalah orang yang rajin mendongeng untukku. Berbeda dengan Mamam, dongeng Mamih berupa kisah-kisah legenda seperti Sangkuriang, Jaka Tarub atau Lutung Kasarung. “Gantian sekarang kamu yang cerita, ya?” begitu kata nenek saya saat itu sambil serius menekuni buku di balik kacamata bacanya.

Ada lagi orang yang terharu saat mengetahui bahwa impian saya telah terwujud, yaitu guru-guru TK saya. Kedua guru yang mengajar saya di masa kanak-kanak itu masih tetap mengajar saat usia saya sudah seperempat abad. Dan begitu mereka tahu bahwa kini saya menulis buku, komentarnya nyaris sama, “Lho, ini kan yang dulu suka membantu Ibu membacakan buku kalau istirahat ya? Ternyata jadi penulis? Ibu pikir akan jadi penyiar radio atau pembaca berita.”

Well, beliau sebetulnya tak terlalu keliru. Saya sempat menjalani profesi sebagai penyiar radio saat masih duduk di kelas 3 SMA. Tapi tak lama, hanya satu semester saja, karena waktu itu aku harus berkonsentrasi pada ujian kelulusan. Meski hanya sebentar, tapi sambil siaran di situ saya belajar mengenai penulisan script siaran dari para penyiar senior.
  
Sampai sekarang koleksi buku-buku masa kecil saya, terutama buku pertama berjudul “Si Jack dan Kacang Buncis” masih ada, meski sudah lusuh atau penuh coretan. Putera pertama saya yang berusia empat tahun masih bisa saya bacakan cerita-cerita yang menginspirasi Bundanya lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu. Tapi sejauh ini sepertinya ia kurang tertarik pada buku, kecuali jika bukunya bisa bunyi atau ada flip-nya sehingga bisa diputar atau dibuka tutup. Dia lebih suka kalau saya mendongeng tanpa buku alias mengarang sendiri sambil memeragakan gaya tokoh dalam cerita. Tak apa, paling tidaknya ini menjadi awal merangsangnya untuk mencintai buku. Toh seseorang yang mencintai buku tak harus menjadi penulis, bukan?

Inilah sepenggal kisah saya mengenai bagaimana buku dongeng masa kecil begitu menginspirasi hingga menjadikan saya kini sebagai seorang penulis. Meski harus saya akui bahwa prestasi ini masih jauh jika dibandingkan dengan penulis-penulis favorit saya dulu. Saya belum berhasil mengarang tokoh yang bisa diingat oleh para pembaca, baik tampilan maupun karakternya. Tapi tentu saja saya akan terus belajar untuk bisa sampai kesitu. 

--Tulisan dalam rangka Hari Buku Sedunia--

8 comments:

Kanianingsih said...

Mak..kisahnya Mirip sama saya. Saya juga dari kecil suka buku tapi ga inget pernah dibacain buku oleh Bapa atau ibu :( dan bedanya kalau saya nulisnya ga maju2 ..makanya belajar lagi di blog:)

Nia K. Haryanto said...

Aku dulu sering dibacain buku sama bapak. Dan sekarang, sering juga bacain buku untuk anak-anak. Dibacain buku, terutama dongeng, emang selalu menyenangkan. Jangankan dulu waktu masih kecil, sekarang juga udah setua ini, kalo dibacain dongeng, rasanya seneng luar biasa. TFS, Mak...

Christanty Putri Arty said...

waaah..kok mirip sama diriku ya..maksuutnya sering ditolak redaksinya sampe muthung, alias putus asa...kpan yaa aku bisa mengekor jejak mb Prita yang sukses jaadi penulis keren..bismillah ^_^

Pritha Khalida said...

Mak Kania Ningsih, kalo saya mah inget. Pasalnya ayah saya kan pelaut, jadi jarang2 ada di rumah, hihihihi.. Mari sama2 belajaaar

Pritha Khalida said...

Mak Nia Haryanto: Bisa sampe ketiduran yaa.. ASyik memang@ Tapi kalo jadi pendongeng, lain cerita. Tenggorokan keriiing..haha!

Pritha Khalida said...

Mak Christanty: Eh, penulis keren? Kece iyaa.. *plak disambit bakiak*
Mari sama2 berjuaaaang :)

Irma Essanovia said...

Hampir sama Mak Pritha, Klo saya diary yang bikin saya jatuh cinta sama menulis. Sampai buku diary nya pake seri #1 #2, dst dari pertama kali punya diary. Hehe...

Pritha Khalida said...

Waaah... ayo dibukukan, Mak Irma :)