Dear Diary,
Hari ini Nyitnyit, sahabat gue, wisuda. Gue sempat ngintip waktu dia keluar kamar dengan kebaya dan high heels yang cantik.
Hati gue sedih dan pilu. Lima tahun lalu kita dateng dari kampung dengan rapot cemerlang dan map beasiswa serta uang saku full untuk kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di Bandung. Tapi sekarang, nasib gue sama Nyitnyit kaya bumi dan langit (ya jelas, Nyitnyit langitnya dan gue buminya, bumi yang penuh polusi tepatnya)
Suatu kondisi yang bisa gue pastikan tidak akan terjadi seandainya dulu menolak rokok. Benda kecil dengan efek teror mahadahsyat.
"Gue jenuh kuliah, Nyit." cetus gue.
"Come on, langkah kita sedikit lagi. Skripsi depan mata!" jawab Nyitnyit.
"Justru itu. Baru aja mulai Usulan Penelitian, gue dikasih banyak coretan merah!"
"Ayolah Nyet, jangan nyerah. Kamu inget kan waktu kita dilepas pake syukuran dari sekolah? Karena kita lulusan pertama yang dapet beasiswa PTN ternama di Bandung dari kampung Udik Pisan."
Nyitnyit selain cerdas memang sabar dan tangguh. Sementara gue, meski rata-rata raport lebih besar dari dia beberapa poin, tapi banyak ngeluh.
Sampai akhirnya, gue gak sanggup bertahan. Gue ketemu Nyutnyut, cowok ganteng di fakultas sebelah yang menghanyutkan. Dia bawa gue ke dunia gemerlap yang belum pernah gue tahu sebelumnya. Dia kenalin gue sama sahabat baru yaitu rokok. Dia bilang gue bakal lebih hip, sexy dan no more stress. Gue sempat gak percaya dan nunjukin kalimat buruk akibat rokok yang terpampang di bungkus dan billboard. Tapi Nyutnyut meyakinkan gue bahwa itu semua cuma iklan yang digaungkan sama orang-orang teoritis sok idealis dan filosifis.
"Kita hidup di dunia realistis. Coba lo pikir, dari mana para petani tembakau menghidupi keluarganya seandainya pabrik rokok ditutup?"
Enggak tau di mana kecerdasan gue saat itu sampai akhirnya setuju sama logika sesat Nyutnyut.
Satu demi satu merk rokok gue coba. Dari yang awalnya batuk-batuk bahkan muntah, lama-lama gue enjoy dengan benda satu itu. Apalagi kalo ngerokoknya bareng Nyutnyut sambil dugem. Rasanya semua beban hidup terbang.
"Nyet, kamar kamu bau rokok. Buang ya?" saran Nyitnyit.
"No!"
"Nggak bagus buat kesehatan. Bisa mengundang banyak penyakit mulai dari TB sampai kanker. Trus nanti kalo kamu udah nikah, bisa mandul."
"Ah lo kuno banget sih, Nyit. Kita sekarang di Bandung, darling! Bukan di kampung Udik Pisan lagi. Lo mesti adaptasi. Cari pacar kaya gue. Biar gak norak."
"Tapi rokok bukan perkara norak atau keren, Nyet. Ini masalah kesehatan dan...."
"So what, abis jadi dokter dadakan, lo mau bilang kalo rokok bisa bikin gue musyrik?"
"Rokok itu mubah cenderung haram, Nyet."
"Please deh. Gue ini pahlawan bagi ribuan petani tembakau!"
Nyitnyit pun pergi. Gak pernah lagi dia menyentuh kehidupan gue. Nyitnyit pergi sampai hari ini, berbulan-bulan setelah gue omelin. Dia bahkan gak tau kalo gigi gue copot dua, bisul di mulut gue bertambah, tenggorokan gue nyeri plus rahang kaku.
Seminggu lalu gue ke dokter. Menurutnya kondisi gue mirip gejala kanker mulut. Gue disarankan menjalani tes laboratorium untuk memastikannya. Tapi, gue nggak mengindahkan itu karena gak punya uang. Beasiswa gue dicabut karena IPK yang jeblok. Uang saku dari kampus otomatis berhenti. Cuma Ibu yang masih sesekali ngirim gue uang. Tapi semua habis untuk beli rokok, benda laknat itu! Can't live without it. Gue bahkan pernah makan gorengan dua biji untuk ngatasin rasa laper karena uangnya gue belain beli rokok.
Nyutnyut? Jangan tanya! Semenjak DO, entah kemana dia.
Sekarang di sini, di kamar kost yang pengap dan belum gue bayar sewanya selama tiga bulan ini, cuma ada gue, seorang zombigaret--zombi karena sigaret, yang merana dan nelangsa dengan badan ceking, muka kuyu dan suspect kanker mulut.
Hari ini Nyitnyit, sahabat gue, wisuda. Gue sempat ngintip waktu dia keluar kamar dengan kebaya dan high heels yang cantik.
Hati gue sedih dan pilu. Lima tahun lalu kita dateng dari kampung dengan rapot cemerlang dan map beasiswa serta uang saku full untuk kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di Bandung. Tapi sekarang, nasib gue sama Nyitnyit kaya bumi dan langit (ya jelas, Nyitnyit langitnya dan gue buminya, bumi yang penuh polusi tepatnya)
Suatu kondisi yang bisa gue pastikan tidak akan terjadi seandainya dulu menolak rokok. Benda kecil dengan efek teror mahadahsyat.
"Gue jenuh kuliah, Nyit." cetus gue.
"Come on, langkah kita sedikit lagi. Skripsi depan mata!" jawab Nyitnyit.
"Justru itu. Baru aja mulai Usulan Penelitian, gue dikasih banyak coretan merah!"
"Ayolah Nyet, jangan nyerah. Kamu inget kan waktu kita dilepas pake syukuran dari sekolah? Karena kita lulusan pertama yang dapet beasiswa PTN ternama di Bandung dari kampung Udik Pisan."
Nyitnyit selain cerdas memang sabar dan tangguh. Sementara gue, meski rata-rata raport lebih besar dari dia beberapa poin, tapi banyak ngeluh.
Sampai akhirnya, gue gak sanggup bertahan. Gue ketemu Nyutnyut, cowok ganteng di fakultas sebelah yang menghanyutkan. Dia bawa gue ke dunia gemerlap yang belum pernah gue tahu sebelumnya. Dia kenalin gue sama sahabat baru yaitu rokok. Dia bilang gue bakal lebih hip, sexy dan no more stress. Gue sempat gak percaya dan nunjukin kalimat buruk akibat rokok yang terpampang di bungkus dan billboard. Tapi Nyutnyut meyakinkan gue bahwa itu semua cuma iklan yang digaungkan sama orang-orang teoritis sok idealis dan filosifis.
"Kita hidup di dunia realistis. Coba lo pikir, dari mana para petani tembakau menghidupi keluarganya seandainya pabrik rokok ditutup?"
Enggak tau di mana kecerdasan gue saat itu sampai akhirnya setuju sama logika sesat Nyutnyut.
Satu demi satu merk rokok gue coba. Dari yang awalnya batuk-batuk bahkan muntah, lama-lama gue enjoy dengan benda satu itu. Apalagi kalo ngerokoknya bareng Nyutnyut sambil dugem. Rasanya semua beban hidup terbang.
"Nyet, kamar kamu bau rokok. Buang ya?" saran Nyitnyit.
"No!"
"Nggak bagus buat kesehatan. Bisa mengundang banyak penyakit mulai dari TB sampai kanker. Trus nanti kalo kamu udah nikah, bisa mandul."
"Ah lo kuno banget sih, Nyit. Kita sekarang di Bandung, darling! Bukan di kampung Udik Pisan lagi. Lo mesti adaptasi. Cari pacar kaya gue. Biar gak norak."
"Tapi rokok bukan perkara norak atau keren, Nyet. Ini masalah kesehatan dan...."
"So what, abis jadi dokter dadakan, lo mau bilang kalo rokok bisa bikin gue musyrik?"
"Rokok itu mubah cenderung haram, Nyet."
"Please deh. Gue ini pahlawan bagi ribuan petani tembakau!"
Nyitnyit pun pergi. Gak pernah lagi dia menyentuh kehidupan gue. Nyitnyit pergi sampai hari ini, berbulan-bulan setelah gue omelin. Dia bahkan gak tau kalo gigi gue copot dua, bisul di mulut gue bertambah, tenggorokan gue nyeri plus rahang kaku.
Seminggu lalu gue ke dokter. Menurutnya kondisi gue mirip gejala kanker mulut. Gue disarankan menjalani tes laboratorium untuk memastikannya. Tapi, gue nggak mengindahkan itu karena gak punya uang. Beasiswa gue dicabut karena IPK yang jeblok. Uang saku dari kampus otomatis berhenti. Cuma Ibu yang masih sesekali ngirim gue uang. Tapi semua habis untuk beli rokok, benda laknat itu! Can't live without it. Gue bahkan pernah makan gorengan dua biji untuk ngatasin rasa laper karena uangnya gue belain beli rokok.
Nyutnyut? Jangan tanya! Semenjak DO, entah kemana dia.
Sekarang di sini, di kamar kost yang pengap dan belum gue bayar sewanya selama tiga bulan ini, cuma ada gue, seorang zombigaret--zombi karena sigaret, yang merana dan nelangsa dengan badan ceking, muka kuyu dan suspect kanker mulut.
Gue udah ga berani ngaca, tapi mungkin kaya gitu muka gue sekarang (Nyetnyet) |
2 comments:
Awww :')
Ehh kenapa :'(
Post a Comment