Saturday, June 14, 2014

Beban Ekonomi dan Kematian Akibat TB Untuk Kelompok 'SADIKIN'

Beban Kematian dan Ekonomi Akibat TB
Sampai saat ini TB masih merupakan ‘trending topic’ di bidang kesehatan. Tercatat ada 8,6 juta kasus TB di seluruh dunia, dimana negara kita menduduki ranking keempat dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan (keempatnya merupakan negara dengan angka kepadatan penduduk tertinggi dan pendapatan perkapita di bawah US$10.000 ).
Dari 8,6 juta kasus itu, angka kematian akibat TB di dunia mencapai 1,3 juta jiwa per tahun, 410.000 pada wanita dan 74.000 pada anak-anak. Sebanyak 1,1 juta Orang dengan HIV menderita TB atau 13%, dengan kematian sekitar 320.000 jiwa. Untuk kasus TB resistan obat dari 450.000 kasus, 170.000 meninggal akibat penyakit ini. Khususnya di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari. 
Tak hanya beban kematian, ada hal lain yang juga penting terkait penyakit TB, yaitu dampaknya terhadap kondisi ekonomi pasien. Tercatat sekitar 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari. Ini tentu bukan perkara mudah, mengingat di Indonesia setiap tahunnya rata-rata ada penambahan sekitar 460.000 kasus TB baru.
Sayangnya, pada umumnya penelitian-penelitian mengenai dampak ekonomi terhadap penyakit paru kronik terutama TB dilakukan di negara-negara maju, padahal kasus ini justru lebih banyak terjadi di negara berkembang, dimana banyak kasus kemiskinan dan berkorelasi dengan penyakit paru. Angka kematian akibat TB saja tercatat 2.983/100.000 populasi di negara berkembang, dan hanya 137/100.000 populasi di negara maju.

Jika TB Menimpa Kelompok SADIKIN
Berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari. Bisakah Anda bayangkan hal itu? Apabila ada seseorang yang menderita suatu penyakit—terlebih jika dia adalah seorang tulang punggung keluarga, maka ini akan menimbulkan guncangan ekonomi pada keluarga yang bersangkutan. Penghasilan rutin otomatis terhenti (jika keluarga tersebut hanya mengandalkan single income). Bukan hanya bertanya tanggungan ekonomi, pihak keluarga pun masih harus sibuk merawat pasien. Khususnya jika sakit yang diderita adalah TB, maka beban pun tak mudah. Selain pengobatan memakan waktu yang relatif lama (minimal 6 bulan), memenuhi anjuran adanya PMO (Pengawas Menelan Obat) agar tak ada terapi yang terlewat—guna mencegah TB resisten obat, pihak keluarga pun harus berupaya menjauhkan penderita TB dari anggota keluarga lainnya dan dari masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitarnya, agar tidak menular.

Saat TB menimpa Sadikin

Gambaran ini tak hanya terjadi pada satu-dua orang di negeri ini. Kenalkah Anda pada SADIKIN? SADIKIN alias Sakit Sedikit Miskin. Ini adalah istilah untuk menggambarkan orang-orang di negeri ini yang secara ekonomi berada sedikit di atas kategori miskin. Mengutip tulisan sahabat saya Siti Maryamah, gambaran mengenai Sadikin ini kurang lebih seperti berikut: 
Standar BPS untuk kategori miskin itu adalah 230ribu/kapita per bulan. Maka katakanlah di Sadikin ini ada di angka 231ribu. Selisih seribu tentu belum cukup untuk membeli obat. Maka seandainya dia sakit dan membutuhkan obat warung yang harganya beberapa ribu saja, ini otomatis sudah bisa membuatnya masuk kategori miskin. Kelompok berkategori Sadikin ini terbilang 'apes', pasalnya dia tidak akan terdaftar sebagai masyarakat yang mendapatkan BLSM (karena pendapatannya yang lebih seribu saja dari standar miskin). Sementara untuk urusan BPJS, Sadikin pun tidak masuk dalam kelompok yang mendapatkan BPJS secara gratis alias harus membayar iuran bulanan. Dimana untuk level terendah BPJS saat ini iuran bulanannya sebesar 25 ribu/bulan. 


Upaya Pribadi Dalam Pencegahan dan Pengobatan TB
Terkait masalah ini, menurut saya pencegahan merupakan hal paling penting untuk berbagai penyakit khususnya yang menular seperti TB. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah TB:
1. Imunisasi BCG untuk setiap bayi sebelum usianya 2 bulan
Ketahanan terhadap penyakit TB berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacil yng hidup di dalam darah. Maka agar memiliki ketahanan aktif, dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ke dalam tubuh alias vaksin BCG (Bacilus Calmette Guerin). Bahkan jika ada penderita TB yang sering kontak dengan orangtua bayi saat masih di dalam kandungan, disarankan bayi diimunisasi segera setelah lahir. Untuk bayi di atas 2 bulan, sebelum imunisasi sebaiknya terlbih dulu dilakukan tes mantoux, untuk mengetahui apakah ia sudah terpapar virus TB atau belum.

Imunisasi BCG untuk mencegah TB
2. Temukan pasien TB
Beri pengobatan sesuai dengan panduan secara rutin sampai sembuh total. Ini dimaksudkan agar tak banyak yang tertular. Dalam catatannya, Christopher JL. Murray—seorang peneliti dari Universitas Seattle, Washington, AS mengatakan bahwa dalam dua dekade terakhir ini Indonesia berhasil menurunkan 37% kematian akibat TB. Meski demikian TB tetap berada di posisi kedua sebagai penyakit dengan tingkat kematian tertinggi, ini disebabkan banyaknya pasien TB yang tidak terdeteksi atau tidak diobati sampai tuntas.
3. Biasakan hidup sehat
Cara yang terhitung relatif mudah dan murah adalah dengan rutin berolahraga dan mengatur asupan makanan yang bergizi seimbang. Jika Anda berkilah bahwa perkara makanan bergizi seimbang ini tidaklah murah, saya mencoba mengutip pendapat dr. Lula Kamal di program televisi 'Hitam Putih' bertema ‘Malnutrisi’ 12 Juni 2014 lalu. Kurang lebih begini, “Anda yakin tak mampu membeli makanan bergizi? Banyak orang yang saya temui mengaku demikian, padahal mereka mampu membeli sebungkus rokok atau bahkan lebih setiap harinya. Padahal harga 2 batang rokok saja sudah bisa membeli sebutir telur.”
4. Jaga kebersihan lingkungan 
Selain hal-hal umum seperti membiasakan diri membuang sampah di tempatnya, tidak membakar sampah dan upaya 3R (reduce, reuse, recycle), salah satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah untuk tempat tinggal, usahakan memiliki ventilasi yang memadai. Karena virus TB cepat sekali berkembang di tempat yang lembab. 

Keempat poin yang disampaikan di atas sebagian besar berhubungan dengan perilaku atau gaya hidup. Ini sejalan dengan pernyataan Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, “Sumber berbagai penyakit itu adalah perilaku, Kemenkes perlu fokus mengubah pola hidup masyarakat melalui upaya promotif dan preventif. Berbagai dampak penyerta penyakit itu dapat mengganggu produktivitas bangsa. Jika pengubahan perilaku tak segera dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi bangsa bisa terganggu.”

Apabila upaya pencegahan tidak berhasil dan virus TB sudah terlanjur menginfeksi tubuh, maka program pengobatan dan penyembuhan hingga tuntas harus diupayakan. Pemerintah saat ini sedang gencar menggalakkan program ‘Sembuhkan TB’, maka maksimalkan layanan pengobatan dan konseling gratis yang diberikan oleh pemerintah di setiap RS umum dan Puskesmas. 

Jika pengobatan gratis tak didapat, misalnya karena sulitnya akses mencapai rumah sakit pemerintah atau alasan lainnya, maka perlu diupayakan penggunaan kartu BPJS. Dengan iuran perbulan mulai dari Rp25.000 maka para pasien TB bisa berobat secara gratis ke rumah sakit swasta yang menerima BPJS.

Peran Pemerintah Untuk Indonesia Yang Lebih Sehat

Peran Aktif Pemerintah Dalam Pembiayaan Program TB
Jika masyarakat dihimbau dan di-support untuk bisa mengubah perilaku terkait dengan menjaga kesehatan khususnya dalam upaya untuk mencegah dan menyembuhkan TB, maka pemerintah pun memiliki sikap yang sejalan dengan hal ini. Salah satunya adalah pernyataan serempak antara Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit, Penyehatan Lingkungan Kementerian (PP&PL), Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PP&ML) dan Kementerian Kesehatan RI sebagai berikut, “Indonesia harus memiliki komitmen untuk mandiri dari donor, terutama Global Fund (GF).” 
Komitmen untuk mandiri dari donor tersebut juga diterapkan pada keberlanjutan pembiayaan program penanggulangan tuberkolosis di Indonesia. Untuk itu pemerintah telah menyusun tiga kunci strategis dalam menghadapi keberlanjutan pembiayaan program TB, yaitu dengan meningkatkan alokasi pembiayaan pemerintah baik pusat maupun daerah, meningkatkan pembiayaan asuransi dan kontribusi swasta sebagai contoh CSR serta penerapan program secara cost-effectiveness dan efisien.

Dengan berbagai langkah kongkrit yang merupakan sinergi antara masyarakat dan pemerintah, diharapkan kedepannya Indonesia bisa terbebas dari beban kematian dan himpitan ekonomi akibat TB.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #SembuhkanTB seri keenam yang diselenggarakan oleh Kemenkes dan TbIndonesia


Sumber Rujukan
www.blog.tbindonesia.or.id
http://dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detil_berita/146-dampak-ekonomi-global-pada-penyakit-paru
http://aditset.blogdetik.com/2014/06/03/beban-ekonomi-dan-kematian-akibat-tb/
http://health.kompas.com/read/2013/05/01/03433582/Indonesia.Hadapi.Beban.Ganda
http://posyandu.org/imunisasi-bcg.html


No comments: