Mudah lelah padahal pekerjaan nggak seberapa. Mudah marah, padahal tidak ada sumber pencetus yang signifikan. Acapkali terdiam karena otak mendadak 'blank' nggak tau mau ngapain, padahal rasanya urusan begitu banyak. Tiba-tiba mellow tanpa tahu penyebabnya. Pola makan yang mendadak berubah (jadi lebih banyak/sedikit). Sulit konsentrasi, insomnia dan teman-temannya.
Pernah begitu? Saya pernah, belum lama ini bahkan. Konon itu adalah beberapa gejala yang ditimbulkan karena kejenuhan. Ya, jenuh dengan rutinitas. Bayangkan saja, gimana nggak jenuh, setiap hari dari bangun tidur sampai di malam hari mau tidur lagi, kegiatan saya kan serupa. Mulai dari mengurus anak-anak dan suami, menulis, membaca, memasak (yang saat ini lebih sering menyambangi dapur, karena alhamdulillah ART sudah hafal sebagian besar resep masakan saya), arisan dan lainnya.
"Prith, tugas Ibu memang tidak mudah, tantangannya luar biasa, tapi juga ada kemanisan yang kita rasakan. Sangat wajar setiap orang perlu bahagia. Kamu sudah tahu itu, betul sekali pandanganmu bahwa kebahagiaan perlu dimulai dari diri sendiri. Saat ini kamu lelah. Bisa cari 'me-time'?" begitu kata Ibu Sian--sang Psikolog senior nan bijaksana, saat saya menceritakan masalah yang dirasakan saat itu.
Gambar nyulik dari sini |
Me-time?
Mungkinkah?
Entahlah, saat itu saya mikir rasanya nyaris nggak mungkin punya me-time. Tunggu, mari kita samakan persepsi. Me-time yang saya maksud di sini adalah waktu untuk diri sendiri, menikmati kesendirian sementara, jauh dari pasangan, anak-anak, rekan kerja atau siapapun yang biasa membersamai kehidupan kita sehari-hari. Seperti itu, oke?
Lalu di mana susahnya, Prith? Tinggal minta izin sama suami untuk nyalon seharian, minta dia jagain anak-anak. Masa sih nggak mau? Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Ya sih, untuk urusan itu, suami saya nggak keberatan. Tapi masalah justru ada di saya dan Bilal. Putera kedua saya ini sekarang lagi lengket-lengketnya kayak lem sama emaknya. Sejak Idul Fitri lalu, entah kenapa Bilal nggak mau sama siapa-siapa. Oke lah sama suami atau ART dia mau, tapi tak bisa terlalu lama. Maksimal sejam. Udah maksimal banget itu. Selanjutnya dia akan rewel nyari saya. Kadang bukan karena mau ASI atau ngantuk, cuma mau ada saya saja. Biasanya dengan saya berada di ruangan yang sama saja, dia sudah senang. Main sendiri pun tak masalah, asalkan setiap nengok, saya kelihatan. Bukan cuma Bilal, saya juga begitu. Rasanya tak tega meninggalkan anak--saat masih di bawah setahun, untuk berlama-lama dengan orang lain. Yang terakhir rasanya ini 'masalah' yang saya ciptakan sendiri.
"Weekend ini kita jalan-jalan aja, yuk?" ajak suami saya.
"Iya tapi kalo lengkap sama anak-anak, di mana me-time nya?" jawab saya manyun.
"Oh harus sendiri?"
"Yaelah Yah, namanya juga Me-Time, bukan Our-Time." saya mulai ketus. Suami cuma nyengir. Saya tau kalau dia sebenernya ngerti, pengin aja iseng *kadang tipe suami macam begini memang harus ditutup pake ember sesekali* :p
Me-time...Me-time...Me-time
Memangnya solusi mengatasi kejenuhan cuma itu, ya? Emang ada korelasi antara kejenuhan dengan me-time? Gimana juga kalo me-time nya malah ngabisin duit banyak, bukannya malah jadi masalah baru? Lalu kalo nggak me-time, ngapain dong biar segala urat jenuh ini gak bikin kolesterol? (eh itu mah lemak jenuh ya?)
Saya pun mikir keras.
*Mikirnya pake otak, Prith?*
Enggak, campuran dengkul!
Disaat lagi mikir gitu, tiba-tiba saya dapet telepon dari penerbit, ngajakin jadi pembicara talkshow di luar kota pekan depan, Cikarang tepatnya.
"Tapi kali ini enggak di mal, Bu Pritha."
"Lah terus di mana?"
"Di toko bangunan."
"Hah?" (Please jangan anggap saya nggak sopan. Jika Anda seorang penulis yang biasa talkshow di sekolah, kampus atau toko buku di sebuah mal, sepertinya kata 'Hah?' adalah sebuah kewajaran saat mendengar lokasi 'Toko Bangunan').
"Kita ada kerjasama dengan toko bangunan itu. Mereka ngadain acara tujuh belasan. Ada lomba mewarnai untuk anak-anak di sana. Nanti pas anak-anaknya ikut lomba, nah para orangtua akan diarahkan untuk ikut talkshow. Gimana, bersedia nggak?"
Toko bangunan? Oh my...
"Tapi Cikarang itu jauh, saya nggak tau jalan, belum repotnya karena saya bawa keluarga." jawaban itu keluar dari mulut saya. Iya jujur aja, daripada bingung belakangan.
"Kalau itu nggak masalah, Bu Pritha. Bisa dijemput, jadi pergi dan pulang bareng sama kami. Gimana?"
"Saya berempat, lho. Gak papa?"
"Nggak masalah."
"Oke kalo gitu."
Deal.
Padahal jujur saja saya masih membayangkan gimana suasana talkshow di toko bangunan. Mungkin akan banyak debu dari semen, atau hectic lalu-lalang orang ngangkut batu bata, keramik dan sebagainya. Dan, jadi gimana nasib me-time saya? Kejenuhan ini rasanya sudah sampai di puncak. Gejala utama terlihat dari mudah lelah dan gampang marah. Itu rasanya sudah cukup bagi saya untuk menyimpulkan bahwa kejenuhan yang saya alami sudah parah.
Hingga tibalah hari yang ditentukan. Saya beserta suami dan anak-anak menuju Cikarang bersama teman-teman dari Pandamedia. Perjalanan pergi hanya memakan waktu 1,5 jam. Nggak terasa juga, karena masih pagi, jadi kami banyak ngobrol. Dan di pikiran saya, persoalan 'Toko Bangunan' itu masih aja nyangkut.
Setibanya di lokasi, ternyata gambaran sang toko bangunan berbeda dari perkiraan saya. Ini rupanya toko bangunan modern yang tertutup, jadi ya semacam supermarket bangunan lah yang sangat luas, desain modern dan rapi plus ber-AC. Oke, paling tidak nyaman untuk anak-anak, gitu pikir saya.
Pemandangan pertama yang bikin kaget begitu memasuki Toko Bangunan |
Dan, surprise!
Ternyata di dalam sudah disediakan panggung dengan backdrop foto saya segede gambreng! Ya ampun, gak nyangka banget deh bahwa acaranya bakalan besar begini. Saat itu sih panggung masih dipenuhi sama anak-anak peserta lomba mewarnai. Tapi nggak bisa dipungkiri, saya langsung gugup. Oke, saya pernah jadi pembicara talkshow di kampus yang mahasiswanya banyak. Bahkan di kampus dengan bapak menteri sebagai salah satu penonton juga saya pernah, tapi jadi pembicara dengan banner yang memajang foto sebesar itu, jujur saja, baru kali ini. Bagi saya ini mempengaruhi psikis. Banner segede gitu sama dengan acara yang melibatkan artis untuk fashion show. Artinya, saya akan jadi pusat perhatian dan tentu penonton akan mengharapkan obrolan yang 'sesuatu' dari saya. Beda lah dengan talkshow di mal seperti sebelumnya, dimana hanya ada standing banner. Yang begitu kesannya lebih santai buat saya.
Acara pun dimulai.
MC memperkenalkan saya sebagai seorang sarjana psikologi, penulis, ibu rumahtangga dengan dua balita. Daaan tiba-tiba, saat saya lagi mesem-mesem gugup, ada sesuatu yang melompat ke atas panggung,
GEDEBRUK!
Plafon runtuh? Bukan
Meteor jatuh? Apalagi itu, bukan.
Gaza--anak sulung saya yang bergaya bak Spiderman, loncat ke atas panggung, tepat di depan kaki saya. Pas udah nyampe panggung, dia nyengir trus pura-pura pingsan karena jatuh. Gayanya dramatis banget.
Sumpah kalau dalam situasi normal, rasanya saya pengin marah. Tapi saat itu saya malah senyum. Bukan karena jaim, sodara-sodara. Tapi justru karena tingkahnya yang tak terduga ini menyelamatkan saya dari kegugupan. Karena setelah Gaza, anak-anak yang tadinya pada kaku di depan panggung--di samping para orangtua, jadi 'bergerak'. Ada yang ngikut ke atas panggung, ada yang jalan-jalan, lari-lari dan berceloteh satu sama lain. Suasana berubah jadi rileks.
Diawali dengan pertanyaan seputar buku, proses penulisan, sumber inspirasi dan semacamnya. Sesi tanya jawab pun tiba. Pertanyaannya macam-macam. Tapi menurut saya, pertanyaan ini berbeda dengan pertanyaan yang biasa diajukan oleh penonton talkshow di mal atau kampus. Kalau di kampus, biasanya khas pertanyaan mahasiswa lah ya, agak teoritis. Kalau di toko buku, pertanyaan tampak smart dan agak jaim. Maksudnya smart itu, keliatannya penanya bukan orang awam. Kemungkinan mereka adalah para orangtua yang sudah biasa dengan artikel atau buku parenting. Sementara yang terjadi di toko bangunan saat itu, pertanyaannya sederhana dan betul-betul permasalahan sehari-hari, seperti
- Anak saya lincah banget, gimana ya ngatasinnya?
- Saya guru Paud, murid-murid kalo nanya suka berentetan, gimana cara jawabnya?
- dll
- dsb
Sampai ada pertanyaan yang menohok saya, "Bu, gimana sih caranya ngatasin stres karena ngurus anak? Kan kerjaan rumah juga banyak. Rasanya gak selesai-selesai, deh."
What?
Itu kan 'masalah gue banget', Bu! Rasanya pengin saya jawab begitu atas pertanyaan tersebut. Tapi kan nggak mungkin, ya? Seperti saya bilang, foto segede gaban di atas banner itu membuat kesan bahwa saya harus memberikan 'sesuatu' pada penonton. Tapi, saya juga nggak mungkin mendadak jadi seorang cerdik pandai nan bijaksana seperti seorang Ibu Elly Risman atau Ayah Edy, bukan?
Maka setelah narik napas, saya jawab, "Bu, itu sebetulnya masih jadi pe-er saya juga. Tapi sebisa mungkin saya mengatasinya dengan menjaga agar diri ini tetap bahagia. Karena menurut saya, seorang Ibu itu sumber kebahagiaan di dalam rumah. Kalau kita nggak bahagia, gimana anak-anak bisa bahagia?"
Eh tapi ada pertanyaan susulan, "Nah itu, gimana caranya bahagia? Kan kita di rumah gak cuma ngurus anak, tapi harus masak, nyuci, ngepel. Belum kalo anak rewel minta jajan misalnya. Duh pusing, deh!"
Skak mat! Sama lagi...
Ya, meski saya mungkin lebih beruntung karena punya ART. Tapi pada dasarnya masalah setiap Ibu sepertinya sama, job desk yang tak mengenal kata 'selesai' di penghujung hari.
Jadi saya bilang aja, "Bu, kurangi nonton sinetron. Ini bisa jadi pemicu ketidak bahagiaan. Kalau setiap hari kita dipertontonkan bahwa bahagia itu punya rumah besar, mobil mewah, pelayan banyak dan segala hal materil lainnya, kapan kita bisa merasa bahagia? Tidak semua orang bisa punya kesempatan seperti itu. Tapi mulailah untuk menurunkan standar bahagia sesuai kemampuan masing-masing. Misalnya hari ini rumah berantakan tapi bisa bikin anak senang karena menemaninya bermain sepenuh hati, tanpa gadget sama sekali. Atau makan sayuran yang bentuknya gak beraturan karena anak ingin membantu motong-motong. Tapi dengan begitu anak yang biasanya nggak mau makan sayur jadi mau, kan itu udah kebahagiaan tersendiri. Jadi, berhentilah menjadi Ibu yang ingin sempurna dalam artian harus bisa merawat anak dengan super baik, rumah tetap rapi, semua pekerjaan selesai, masih sempat berdandan dan semacamnya. Bahkan sesekali biarkan saja setrikaan menumpuk, yang penting baju seragam sudah rapi."
Dan tanpa saya duga, si ibu penanya tiba-tiba mengangkat tangannya tinggi-tinggi, "Bahagia! Mari kita bahagiaaa!" yang disambut oleh pekikan ceria penonton lainnya. Di sini saya melihat bukti bahwa kebahagiaan itu menular, sodara-sodara. Termasuk menular pada saya. Dimana lemak jenuh, eh perasaan jenuh yang masih menggelayut sampai pagi tadi mendadak luruh satu persatu, berganti dengan keceriaan. Yes, I'm not alone...
Jadi gimana nasib 'Me-Time'?
Ah sudahlah, sepertinya itu bisa dipikirkan lain waktu. Saya kan udah nggak jenuh. Dan ternyata 'Me-Time' itu bukan satu-satunya sarana untuk menghilangkan kejenuhan. Setidaknya ini berlaku bagi saya. Hehehe...
4 comments:
Seruuuu!
Menurutku..."Me Time" itu perlu banget... Ini untuk mengatasi rasa jenuh dan bosan atas rutinitas yang kita alami setiap hari... Seperti yang kita rasakan, rutinitas sehari2 kadang membelenggu diri sehingga timbul rasa uring2an gak jelas... Jalan satu2nya ya itu tadi...kita harus keluar dari rasa yang membelenggu dengan menyediakan waktu untuk rileks bersama keluarga... Kalau sudah begini biasanya aku dan suami mencari waktu untuk menghabiskan 'Me Time" secara bersama2... Entah apapun bentuknya pokoknya harus keluar dari rutinitas sehari2... Otak dan pikiran yang tegang biasanya akan pulih setelah kita menghabiskan 'Me Time'
Mba Pritha kereeeen...hiks pengen juga deh me time nya diundang launching buku saya misalnya hehe..mimpi. mari kita bahagiaaaaa..untung sy ga suka nonton sinetron...
Alhamdulillah Mba Stya :)
Mba Rita: yang penting keluar dari rutinitas ya, ga penting mau sendiri atau banyakan hihihi
Mak Kania: Alhamdulillaah nih rezeki banget dapet penonton seru begitu. Btw saya kadang nonton sinetron karena penasaran banyak orang ngomongin :D
Post a Comment