Sumber gambar dari sini |
Teman-teman...
Ini adalah tulisan kedelapan saya terkait TB (tuberkulosis). Setelah sebelumnya berkisah mengenai (1) Bagaimana menemukan pasien TB di sekitar kita, (2) Pengobatan TB Gratis, (3) TB Bisa Disembuhkan, (4) Strategi Mencegah TB Resisten Obat, (5) Pentingnya Mengendalikan Serta Mewaspadai TB, (6) Beban Ekonomi dan Kematian Akibat TB, (7) Peran Aktif Masyarakat Dalam Mengendalikan TB. Kali ini saya akan membahas tentang Stigma dan Diskriminasi Terhadap Pasien TB.
Tentang Stigma dan Diskriminasi
Konon kata 'Stigma' berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang dipakai untuk menyebut bekas luka pada kulit akibat ditempel besi panas yang dilakukan pada budak, penjahat atau orang-orang yang dianggap memiliki catatan kriminal. Tujuannya agar orang-orang tersebut mudah diidentifikasi sebagai orang-orang yang hina dan mudah diidentifikasi. Stigma juga bisa diartikan sebagai 'Label' untuk orang-orang yang tidak dikehendaki. Secara teknis 'Stigma' dapat diartikan sebagai attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Sementara 'Diskriminasi' adalah action yang dilakukan setelah ada stigma terhadap suatu hal (Sumber dari sini). Diskriminasi timbul setelah ada stigma negatif terhadap suatu hal. Pada masa sekarang ini, stigma biasanya mengiringi penyakit-penyakit yang relatif sulit diobati dan atau menimpa orang-orang dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah, misalnya seperti HIV/AIDS, kusta dan TB.
Stigma dan Diskriminasi Pada Pasien TB
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa stigma terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang. Terkait dengan TB, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang memiliki keyakinan negatif atau pengetahuan yang minim. Ini terbukti dari fakta yang mencatat bahwa masih ada sekitar 8,6 juta kasus TB di seluruh dunia, dimana Indonesia menempati ranking keempat kasus TB terbanyak setelah India, Cina dan Afrika Selatan.
Menurut dr. Yahmin Setiawan, MARS (Direktur LKC Dompet Dhuafa), ada beberapa stigma yang muncul karena keyakinan negatif serta minimnya pengetahuan tentang TB, sebagai berikut:
1. TB dianggap penyakit kutukan/guna-guna
Batuk darah dengan tiba-tiba merupakan salah satu gejala TB yang sering terjadi. Sebagian masyarakat awam menganggap hal tersebut diakibatkan oleh guna-guna atau kutukan, sehingga action diskriminasi yang terjadi adalah pasien TB akan dikucilkan karena dianggap telah melakukan hal-hal yang salah dan menyimpang.
Faktanya, batuk berdarah pada pasien TB disebabkan pecahnya pembuluh darah yang ada dalam paru-paru dikarenakan infeksi kuman TB pada saat batuk. Darah yang keluar berwarna merah segar dan dapat terjadi jarang atau sering ditentukan dengan luasnya infeksi kuman TB yang terjadi pada paru-paru pasien.
Mengucilkan pasien TB tentu bukan solusi terbaik untuk masalah ini. Sebagaimana kita tahu bahwa TB bisa disembuhkan dengan meminum obat anti TB (OAT) secara tepat dan teratur.
Diskriminasi TB dalam satu rumah Sumber gambar dari sini |
2. TB adalah penyakit keturunan
Seringkali ditemukan penyakit TB dialami dalam satu keluarga. Dimana apabila orangtuanya sakit maka anaknya juga sakit. Atau apabila suaminya sakit, maka isterinya juga sakit. Untuk sebagian masyarakat hal ini menumbuhkan keyakinan bahwa TB adalah penyakit keturunan dan membahayakan. Sehingga akhirnya membuat masyarakat mengucilkan satu keluarga pasien TB.
Faktanya TB adalah penyakit uang disebabkan oleh kuman TB dan salah satu penyakit menular. Proses penularannya adalah dengan percikan dahak yang dikeluarkan oleh pasien TB dewasa yang di dalamnya sudah ada kuman TB yang bersebaran di udara dihirup oleh orang yang ada di sekitarnya. Kuman TB tersebut masuk ke dalam saluran nafas dan berada di dalam tubuh kita, akan muncul menjadi penyakit TB apabila daya tahan tubuh kita melemah dan kuman berkembang menjadi banyak. Apabila sudah menjadi penyakit, maka gejala-gejala pasien TB akan terjadi yaitu batuk berdahak lebih dari 2 minggu disertai demam, keringat malam, nafsu makan berkurang dan berat badan berkurang signifikan. Karena merupakan penyakit menular, maka wajar saja jika orang-orang terdekat dengan pasien lah yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk tertular TB, seperti anak, suami/isteri.
Namun sekali lagi, pengucilan (apalagi samapai sekeluarga), tentu bukan jalan keluar terbaik. Upaya pencegahan terhadap anggota keluarga yang belum tertular TB sangat mungkin untuk dilakukan misalnya dengan mengobati pasien TB dengan tepat, teratur dan sampai sembuh sehingga sumber penularannya tidak ada lagi. Upaya lainnya dengan meningkatkan kesehatan lingkungan yang ada di dalam rumah seperti memberi ventilasi yang baik agar udara bersih dan sinar matahari yang cukup bisa masuk ke dalam rumah.
3. TB adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan
Di masyarakat sering ditemui pasien TB yang tidak berobat dan mengakibatkan sakitnya bertambah parah dan akhirnya meninggal. Hal ini menimbulkan pemahaman di masyarakat bahwa TB adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Faktanya, jangankan tidak berobat. Pasien yang berobat saja membutuhkan waktu yang relatif lama untuk sembuh (minimal 6 bulan) dengan pengobatan teratur. Lama? Bisa dibilang Ya. Tapi ini membuktikan bahwa TB bisa disembuhkan. Ini bahkan sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa waktu lalu yang bisa sampai 1-2 tahun. OAT paket FDC/KDT yang sudah memudahkan pasien TB dalam meminumnya dan disediakan secara gratis oleh pemerintah di sarana kesehatan milik pemerintah seperti Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah.
Salah satu kunci kesembuhan TB adalah kepatuhan minum obat. Oleh karena itu setiap pasien TB sangat dianjurkan memilii PMO (Pengawas Menelan Obat) agar dia meminum obatnya sampai selesai. Dalam pengobatan perlu juga ditunjang dengan asupan makanan yang cukup gizi. Sehingga apabila ada pasien TB dan berobat di sarana kesehatan yang benar, dengan obat yang tepat dan teratur serta ditunjang dengan asupan gizi yang cukup maka dapat sembuh dengan tuntas.
Testimoni Stigma dan Diskriminasi Seorang Pasien TB
Lantas seberapa buruk stigma dan diskriminasi pada pasien TB? Berikut saya rangkum testimoni dari Jigna Rao, seorang pasien TB yang berasal dari India namun menetap di Amerika. Setelah mendapatkan diagnosa TB panggul, Jigna kini tercatat sebagai aktivis yang aktif memberikan kampanye mengenai penyakit menular yang satu ini. Berikut kutipan sebagian kampanye yang dilakukannya pada acara '44th Union World Conference On Lung Health' di Paris pada bulan November 2013:
Jigna Rao--'44th Union World Conference On Lung Health' di Paris Nov 2013 |
Diagnosa TB Panggul pada 2006 membuat saya terpaksa menghadapi kenyataan untuk menjadi seorang ibu, dimana saya harus menjalani infertility treatment. Ini saja sudah cukup menyedihkan, belum lagi ditambah fakta bahwa dalam beberapa bulan kedepan saya harus menghabiskan waktu dengan mengonsumsi beragam obat TB. Di satu sisi saya merasa beruntung memiliki suami yang mendukung dan mencintai saya. Sayang, hal yang sama tak saya dapati dari keluarga, kerabat dan orang-orang di sekitar. Meski tak terucap, namun saya merasa bahwa sikap mereka perlahan berubah. Beberapa orang secara mendadak mengakhiri percakapan dengan saya, ketika saya berbicara mengenai diagnosis TB. Sorot mata mereka membuat saya merasa kurang dihargai. Sebagian besar keluarga saya di India menyarankan agar saya tak lagi membicarakan penyakit ini dengan orang lain, karena ini mengancam status sosial mereka. Ini sangat menyakitkan, membuatku merasa bahwa aku sudah diisolasi secara emosional. Beginilah hidup dengan TB. Saya akhirnya memahami mengapa para penderita TB selalu tampak ingin menyembunyikan penyakit yang mereka derita, bahkan seolah ingin menjauh dan tampak tersembunyi jika bersentuhan dengan klinik atau apapun tentang TB. Saya mulai mengalami cemas, stres bahkan depresi. Penyakit TB mengubah saya dari seorang wanita yang rasional, percaya diri dan independen menjadi sosok yang lebih merasa nyaman di balik pintu. TB berpengaruh lebih dari sekedar aspek fisik, namun juga psikososial dan spiritual. Sehingga penting adanya pengobatan TB agar lebih holistik mencakup pada aspek-aspek tersebut, bukan hanya mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh. Saya mungkin satu dari ribuan pasien TB yang beruntung memiliki dukungan dari suami dan bisa menjalani pengobatan secara intensif di Amerika--dimana fasilitas kesehatan dan obat-obatan tersedia lengkap. Masih banyak pasien TB di seluruh dunia yang jangankan mendapatkan dukungan secara psikis, sosial dan spiritual, bahkan untuk pengobatan fisiknya saja tak memadai. Tak hanya itu, yang terburuk adalah Stigma dan Diskriminasi. Pasien TB hampir selalu kehilangan pekerjaannya setelah diketahui diagnosisnya. Ini membuat mereka kehilangan mata pencaharian (yang otomatis juga hilangnya pendapatan), merasa sendiri dan kehilangan martabat. Untuk kaum perempuan, seperti yang saya alami, TB juga bisa merenggut mimpi untuk menjadi seorang ibu--karena kehilangan kesuburan. Hal-hal ini tentu bisa menurunkan kualitas hidup para penderita TB.
(Jigna Rao)
Dari pernyataan Jigna Rao tersebut, cukup lah memberi gambaran pada kita untuk menyadari bahwa Stigma dan Diskriminasi bukan saja merupakan solusi yang tak bijak, namun juga sangat berbahaya. Secara psikis saja TB sudah cukup menyakitkan. Bayangkan bahwa ada penyakit yang salah satu gejalanya adalah batuk yang tak henti-henti dalam waktu lama, dahaknya mengeluarkan darah, serta demam dan penurunan berat badan secara signifikan. Tampilan fisik orang dengan TB akan menjadi relatif kurang menarik jika dibandingkan dengan keadaannya sebelum terkena TB. Ini tentu akan menurunkan kepercayaan dalam dirinya. Selanjutnya pengobatan dalam waktu berbulan-bulan juga bukan hal yang mudah, di rentang usia berapapun itu. Pada kasus Jigna Rao, TB masuk ke kalangan usia produktif. Bisa kita bayangkan seandainya TB menyerang anak-anak, dimana mereka seharusnya memiliki masa kecil yang ceria dan menyenangkan dengan beragam permainan. Namun dengan adanya diagnosis TB, hal tersebut sedikit banyak harus dikurangi. Mereka harus menjalani pengobatan rutin setiap hari selama berbulan-bulan. Tentu bukan hal yang mudah. Atau jika TB menulari lansia. Ini juga tak kalah menyakitkan. Sebagai contoh nyata, nenek suami saya pernah mengalaminya. Beliau tadinya merupakan sosok yang produktif dan ceria. Namun setelah diagnosa itu ditemukan, berubah drastis menjadi pemurung. Rasa bersalah pun menghinggapi dirinya karena takut menjadi sumber penularan bagi anak dan cucu-cucunya.
Maka dari itu, seperti yang ditekankan oleh Jigna Rao bahwa penting adanya pengobatan yang holistik mencakup aspek fisik, psikososial dan spiritual. Tak hanya OAT (Obat Anti TB) yang menyembuhkan luka di dalam tubuh, namun juga rangkulan dari orang-orang terdekat. Kuncinya tentu saja harus ada program edukasi yang memadai mengenai TB. Masyarakat harus tahu beragam hal penting seputar TB seperti fakta bahwa TB bisa bukan penyakit kutukan dan bisa disembuhkan secara total. Untuk masyarakat miskin penting ditekankan mengenai gratisnya biaya pengobatan TB serta edukasi untuk memiliki tempat tinggal yang meski sederhana tapi bersih dan memiliki cukup ventilasi guna mencegah berbagai penyakit khususnya TB.
Faktanya kita tahu bahwa TB lebih banyak dialami oleh masyarakat miskin yang memiliki pengetahuan minim mulai dari penularan sampai pengobatannya. Namun fakta bahwa TB bisa juga menyerang masyarakat golongan ekonomi sosial menengah ke atas juga tak boleh diabaikan. Intinya, TB bisa menyerang siapa saja. Jadi hapuskan beragam stigma negatif yang ada mengenai penyakit yang satu ini. Jadilah masyarakat cerdas yang bisa mencegah, mengendalikan dan mengantisipasi penyakit TB. Mari bantu pemerintah untuk mewujudkan program Indonesia Bebas TB.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog #SembuhkanTB seri ke-8 (seri pamungkas) yang diadakan oleh www.tbindonesia.or.id dan www.depkes.go.id.
Sumber Rujukan:
www.tbindonesia.or.id
www.lkc.or.id
www.districtblogs.co.za
www.treatmentsciencewriters.com
No comments:
Post a Comment