Saturday, November 15, 2014

Resensi Buku 'Pendidikan Anak Ala Jepang', Mengungkap Rahasia Kedisiplinan Masyarakat Jepang

Pendidikan Anak Ala Jepang
Saleha Juliandi dan Juniar Putri

Gambar di atas adalah cover buku yang saya baca seminggu belakangan ini. Hah, seminggu? Memang setebal apa bukunya, Prith? Mungkin akan ada yang nanya begitu. Hihi, bukunya sih cuma 173 halaman, teman-teman. Tapi bacanya tuh mesti dihayati, soalnya banyak istilah bahasa Jepang di dalamnya. Udah bagus segitu juga saya nggak penasaran untuk baca huruf Jepangnya, gak bakalan tamat kalau itu yang terjadi, hihihi...

Tapi beneran deh, baca buku ini tuh kaya lagi belajar sekaligus evaluasi. Belajar tentang satu metode pengasuhan anak yang bagus dan unik, dimana sebagian rasanya tak pernah saya temukan dalam kebudayaan negeri ini. Plus evaluasi, seberapa dekat sih kita--khususnya saya--sudah menerapkan pendidikan semacam ini pada anak-anak?


Pendidikan Anak Ala Jepang

Penting ya untuk dibaca? Apa bedanya dengan pendidikan anak ala Indonesia? Apa sih yang unik dari metode pendidikan anak di negara yang terletak di kawasan Asia Timur itu? Jika Anda bertanya demikian, mari renungkan beberapa poin berikut:

- Hampir semua orang Jepang memanfaatkan waktunya dengan membaca buku. Kalo belum pernah ke Jepang kaya saya, coba aja nonton film Jepang atau berita tentang Jepang. Di manapun itu, taman kota, stasiun dll, orang-orang pada umumnya megang buku (dibaca ya, bukan dijual)
- Di Jepang orang-orang mengantri dengan tertib. Yang ini juga, liat aja di film atau berita tentang Jepang.
- Di Jepang anak-anak tak diajarkan calistung di TK, tapi faktanya mereka memiliki SDM yang berkualitas tinggi (Produk elektronik atau otomotif buatan Jepang udah bersliweran di negara kita, nggak mungkin dibikin oleh SDM yang pas-pasan).
- Jepang merupakan negara yang sangat bersih, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu negara paling bersih di dunia

Berdasarkan keempat poin itu saja, sudah cukup bagi saya untuk mengagumi karakter masyarakat Negeri Matahari Terbit tersebut. Dalam benak saya, pasti ada yang sesuatu yang spesial dari negara ini, khususnya di bidang pola asuh dan pendidikan. Kedua bidang itu saya soroti, karena saya yakin bahwa karakter yang baik itu tidak tumbuh dalam sehari, melainkan hasil dari sebuah pembelajaran dalam jangka panjang. 

Berangkat dari kekaguman itu, beberapa buku tentang pola pendidikan di Jepang pun saya baca. Dua yang paling berkesan adalah Totto Chan dan Metoda Otak Kanan Shichida. Nggak cuma dibaca, beberapa poin yang sederhana bahkan saya coba terapkan dalam mendidik anak-anak. Dari situ, sedikit-sedikit saya mulai menemukan pola pendidikan dan pengasuhan di Jepang. Tapi rasa penasaran saya tetap membuncah. Pasalnya buku-buku itu tidak menjelaskan secara detail mengenai bagaimana praktek pengasuhan dan pendidikan di Jepang. Sederhana saja, apakah di Jepang anak-anak diajarkan untuk bangun subuh? Mengingat mereka kan bukan Muslim yang harus solat subuh. Atau apakah di sana bimbel alias bimbingan belajar merajalela? Maksudnya, oke katanya nggak diajarin calistung di sekolah, tapi mungkin mereka diharuskan belajar di luar sekolah gitu. Ya, siapa tahu, kan? Habis masa sih, silabus lebih sederhana dari Indonesia, tapi output lebih berkualitas?

Akhirnya, pertanyaan saya terjawab tuntas setelah membaca buku 'Pendidikan Anak Ala Jepang' yang ditulis oleh Saleha Juliandi dan Juniar Putri ini. Kedua penulis yang pernah tinggal lama di Negeri Sakura ini membeberkan bagaimana pola asuh dan pendidikan di sana. Saya berdecak kagum saat membaca halaman demi halaman bukunya. Bagaimana tidak, Jepang ternyata memiliki konsep pendidikan yang sangat mumpuni: detail dan matang. Mulai dari guru (sensei), hanya guru yang memiliki ijazah minimal D3 untuk bisa mengajar di Jepang (untuk TK dan Daycare sekalipun!). Tak cukup ijazah pendidikan formal (yang disertai minimum kredit untuk subjek Pengajaran dan Pedagogi), mereka juga dituntut untuk mampu mengerti kebutuhan anak didik serta bisa bermain musik. Apa pentingnya main musik? Nanti akan kita bahas di paragraf selanjutnya. Yang jelas, dengan sederet kriteria yang ada, profesi guru menjadi sangat bergengsi di Jepang.


Kepedulian Pemerintah Jepang Terhadap Pendidikan

Jepang menganut sistem pendidikan wajib belajar 9 tahun yang dimulai sejak usia 6 tahun (kelas 1 SD). Namun pada tahun 2003, Jepang mengalami puncak krisis kependudukan, yaitu penurunan angka kelahiran. Jumlah tenaga kerja muda pun kian menyusut sehingga menuntut semakin banyak kaum ibu yang harus terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, pemerintah Jepang semakin meningkatkan program pertambahan angka kelahiran beserta berbagai fasilitas pendukungnya melalui peningkatan kualitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini di seluruh Jepang. (dikutip dari halaman pertama buku Pendidikan Anak Ala Jepang).

Paragraf pembuka buku ini bagi saya sangat mengagumkan. Betapa tidak, pemerintah Jepang sangat peduli pada masyarakatnya. Dengan kondisi yang ada yaitu krisis kependudukan, mereka butuh tenaga kerja usia produktif. Program pertambahan angka kelahiran pun ditingkatkan. Sejalan dengan hal itu, mereka sungguh memperhatikan dampaknya, yaitu memberi berbagai fasilitas pendukung dan meningkatkan kualitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Jadi intinya, masyarakat Jepang udah nggak perlu kuatir urusan pendidikan kalau punya anak banyak. Sekolah negeri pun tersedia dalam jumlah cukup, ada di setiap kecamatan. 

Pemerintah Jepang pun sangat memperhatikan pendidikan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), dengan disediakannya sekolah khusus dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Selain sekolah khusus, TK, Daycare maupun SD di Jepang biasanya bersifat inklusif, yaitu menerima murid ABK dengan pendampingan khusus oleh guru bersertifikat. Bahkan sekolah membuka hari-hari tertentu dalam seminggu untuk ABK yang berasal dari sekolah khusus. Dengan ini pemerintah ingin membiasakan anak-anak Jepang menerima perbedaan dengan hati terbuka dan dapat berlaku baik terhadap siapa saja termasuk teman-teman yang spesial.


Disiplin Waktu Sejak Dini

Kalau di Indonesia, kita mengenal 'budaya' jam karet, berbeda sekali kondisinya dengan di Jepang. Sejak dini, anak-anak di sana diajarkan untuk tepat waktu. Pada umumnya TK di Jepang memiliki fasilitas bis sekolah. Jangan bayangkan bis yang biasa melaju di jalanan Indonesia--apalagi metromini di Jakarta ya, bis sekolah di Jepang didesain dengan tokoh kartun yang lucu. Secara teknis, bis jemputan ini juga harus layak pakai berdasarkan uji keamanan dan keselamatan yang dilakukan 2 tahun sekali. Nah, untuk memanfaatkan fasilitas bis sekolah ini, anak-anak diharuskan menunggu di halte pada waktu yang sudah ditentukan. Kalau nggak ada, ya ditinggal. Sehingga orangtua harus mengantar mereka ke sekolah. Rata-rata para orangtua mengantar anaknya dengan berjalan kaki atau bersepeda.


Sistem Pendidikan TK dan SD di Jepang

Berbeda dengan kebanyakan sekolah di Indonesia, di Jepang anak-anak TK tidak diajarkan calistung. Pada usia dini, mereka lebih ditekankan untuk dilatih hidup mandiri, disiplin, bertanggung jawab dan terampil bersosialisasi. Tak ada target untuk menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Ajaran mengenai kemandirian, disiplin, tanggung jawab dan semacamnya pun dilakukan dengan cara yang menyenangkan plus disesuaikan dengan usia anak. Inilah yang membuat anak tak merasa terbebani, bahkan mereka senang menerapkannya.

Jika sebagian besar sekolah di Indonesia memiliki kebiasaan menetapkan peringkat setiap pembagian raport, tidak demikian halnya dengan di Jepang. Tak ada peringkat yang bisa membuat seorang anak 'dinobatkan' lebih pintar dari yang lainnya. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang unik, yang tak bisa dibandingkan satu sama lain. Selain itu, hal ini juga untuk menanamkan sikap bekerjasama antar siswa, bukannya kompetitif. Tentu saja, dengan adanya 'reward' berupa ranking, biasanya setiap siswa yang relatif pintar secara akademik, akan berjuang untuk menjadi yang terbaik dan menganggap teman-temannya sebagai saingan. Sementara mereka yang secara akademik relatif di bawah rata-rata, biasanya akan merasa 'kalah sebelum bertanding' dan menjadi rendah diri.

Lantas, jika tidak diajarkan membaca sejak dini, bagaimana bisa masyarakat Jepang demikian 'tergila-gila' pada buku? Sederhana saja, mereka dibiasakan untuk dibacakan buku sejak dini. Dibacakan ya, bukan diajarkan membaca. Anak-anak diperkenalkan pada buku dengan cara yang super menyenangkan, sehingga mereka merasa bahwa buku adalah 'permainan' yang menyenangkan ketimbang gadget. Banyak fasilitas pendukung serta program reward di sekolah yang juga diadakan oleh pemerintah guna mendukung kebiasaan membaca ini.

Salah satu pelajaran yang diajarkan di SD adalah Pendidikan Moralitas (Doutoku) yang terbagi ke dalam 4 aspek penting yaitu menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, menghargai lingkungan dan keindahan serta menghargai kelompok dan komunitas. Saya rasa, inilah cikal bakal bagaimana masyarakat Jepang bisa demikian tertib dalam urusan kebersihan, kerapian dan mengantri.

Oya mengenai bernyanyi dan bermusik, ada yang menarik dari pendidikan di Jepang. Semua guru di TK maupun daycare diwajibkan memiliki kemampuan bermain piano, agar bisa mengiringi anak-anak bernyanyi, menari, hingga memainkan drama. Bahkan aktifitas bermusik dan bernyanyi ini juga digunakan sebagai kode agar anak-anak bisa memusatkan perhatian pada guru. Tak hanya sebagai pendengar pasif, materi bermusik pun diajarkan secara serius di Jepang, bukan hanya sebagai selingan. Mereka yakin bahwa bermusik bisa membantu meningkatkan konsentrasi, pembentukan karakter dan kecerdasan sehingga memudahkan proses belajar.


Kelebihan Buku: Teorinya Aplikatif

Masih banyak hal menarik serta aplikatif yang saya pelajari di buku bercover putih karya duet Saleha Juliandi dan Juniar Putri ini, antara lain mengenai bagaimana para guru menjalin kedekatan dengan murid, bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan yang rawan bencana, bagaimana mengajarkan gaya hidup sederhana sejak dini dan lainnya. Anda bisa membaca sendiri buku dengan cover cantik yang didesain oleh puteri penulis yang baru duduk di kelas 6 SD.


Setiap negara pasti memiliki sistem pengajaran yang berbeda, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Sebagaimana saya jelaskan di awal, mengapa saya tertarik pada sistem pendidikan di Jepang, ialah karena melihat output SDM berkualitas tinggi yang dihasilkannya. 

Jika ada bagian-bagian dari tulisan ini yang secara langsung membandingkan sistem pendidikan Jepang dengan Indonesia, tentu bukan maksud saya untuk meninggikan sistem pendidikan Jepang dan merendahkan sistem pendidikan Indonesia. Saya optimis, sebagai negara berkembang, Indonesia akan terus berbenah untuk menyempurnakan sistem pendidikan yang ada. Ada banyak SDM berkualitas yang dimiliki Indonesia di bidang pendidikan. Mungkin kesempatannya saja yang belum terbuka lebar. 

Semoga dengan hadirnya buku ini, bisa menjadi salah satu referensi bagi para praktisi pendidikan dan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Oya, buku 'Pendidikan Anak Ala Jepang' yang diterbitkan oleh Pena Nusantara ini akan hadir di toko buku seluruh Indonesia pada akhir November. Namun, jika Anda menginginkannya dari sekarang, bisa langsung pesan pada penerbit Pena Nusantara atau sang penulis Saleha Juliandi.

1 comment:

RahasiaIbunda said...

artikel ini masih berkaitan tentang pendidikan anak ala jepang metode pendidikan anak di jepang