Thursday, October 18, 2012

SMP Terbuka Sebagai Salah Satu Solusi Anak Putus Sekolah Di Indonesia

Sekitar dua minggu yang lalu saya menonton tayangan Tupperware SheCAN! di Trans 7. Ini adalah program acara yang selalu menampilkan sosok perempuan inspiratif di berbagai bidang dengan Shahnaz Haque sebagai host-nya. Pada episode kali itu ditampilkan sosok Cucu Sumiati, seorang relawan dan guru SMP Terbuka di kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor.

Saya awalnya hanya menonton selewat karena sedang ada kesibukan rumahtangga. Tapi begitu mendengar bahwa Cucu Sumiati ini 'hanya' lulusan SMA, maka saya pun pasang mata dan kuping, menonton total. Apa pasal? Saya merasa malu dan sedikit tersindir karena dengan ijazah SMA-nya, dia bisa membantu anak-anak yang tidak mampu untuk meneruskan sekolah melalui SMP terbuka. Sementara saya yang mengantongi ijazah S1 tidak bisa. Bahkan terpikir pun belum pernah!

Kegiatan Mengajar Cucu Sumiati di SMP Terbuka

Melihat banyaknya anak di sekitar tempat tinggalnya yang tak bersekolah, Cucu Sumiati merasa prihatin. Berdasarkan pantauannya, ia tahu betul bahwa hal ini dipicu oleh keadaan ekonomi yang pas-pasan. Jangankan untuk sekolah yang membutuhkan biaya untuk sepatu, tas, buku dan sebagainya, masih banyak warga di Cijeruk yang untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja susah.

Bersama suaminya--Gunawan, Cucu akhirnya berinisiatif untuk mengajukan pendirian kelas jauh ke kepala sekolah SMPN 1 Cijeruk. Langkah itu mereka lakukan setelah sebelumnya memastikan dengan mengadakan survey sederhana mengenai penyebab anak-anak tak bersekolah. Meski hanya mensurvey beberapa orang saja, Cucu dan Gunawan  sangat yakin bahwa faktor ekonomi dan jarak menjadi penyebab banyaknya anak putus sekolah di desanya. 

Proposal Cucu akhirnya disetujui oleh Kepala Sekolah SMPN 1 Cijeruk, dengan syarat harus memiliki murid minimal 15 orang. Respon positif ni membuat Cucu makin bersemangat untuk mewujudkan impiannya mendirikan SMP terbuka. 

Selalu ada rintangan yang akan dijumpai saat seseorang memiliki sebuah cita-cita yang luhur. Hal ini terjadi pula pada Cucu Sumiati. Setiap hari dia dan suaminya (bahkan mengajak pula anaknya) berkeliling kampung dan mengetuk dari satu rumah ke rumah lainnya guna mengajak anak-anak kembali bersekolah. Tak hanya mengajak, Cucu juga berjanji bahwa sekolah yang akan dikelolanya itu tak memungut biaya sepeserpun alias gratis. Dengan iming-iming gratis begitu, ternyata tak sedikit orangtua yang masih keberatan menyekolahkan anaknya. Mereka beralasan bahwa sang anak dibutuhkan untuk membantu mencari nafkah. Puncak perjuangan Cucu diuji ketika ia hampir saja kehilangan anaknya yang masih balita karena terjatuh di jalanan yang licin karena hujan, sepulang dari mencari calon siswa.

Tapi Cucu tak gentar, ia terus berikhtiar. Penolakan demi penolakan tak membuat ia dan suaminya putus asa. Mereka terus saja mencari hingga terkumpul sekitar 20 orang anak yang bersedia bersekolah di siang hari, setelah mereka bekerja.

Setelah jumlah siswa memenuhi syarat minimal, akhirnya per tahun ajaran baru 2011, Cucu dan Gunawan mendapat izin untuk menyelenggarakan SMP terbuka (ini merupakan kelas jauh yang merujuk pada SMPN 1 Cijeruk) di gedung sebuah sekolah dasar di Langensari-Cijeruk. Mereka bisa membuka sekolah pada siang hari, setelah kegiatan belajar-mengajar di SD tersebut usai.

"Awalnya memang ada dua puluh siswa, tapi tak semuanya rutin hadir. Kadang-kadang malah hanya lima orang. Alasannya macam-macam, tapi rata-rata karena sibuk bekerja membantu orangtua mencari nafkah." tutur Gunawan.

Cucu dan Gunawan pun secara resmi menjadi tenaga pengajar sukarelawan di sekolah tersebut. Berbagai mata pelajaran mereka ajarkan. Dengan penuh semangat mereka mempelajari kembali bahan pelajaran SMP untuk diajarkan kembali pada para siswanya. Tak ada sedikitpun rasa malas dalam diri pasangan suami isteri itu untuk berbagi ilmu pada anak-anak di Cijeruk, meski mereka hanya menerima gaji yang nominalnya sangat kecil (hanya sekitar 200ribu/bulan). Cita-cita Cucu hanya satu, ia ingin melihat anak-anak di desanya bisa bersekolah dan memiliki kehidupan yang lebih layak. Tak hanya mengajar, Cucu bahkan seringkali mencari donatur untuk menyumbangkan pakaian dan sepatu layak pakai untuk para siswanya. Ini merupakan realisasi dari janjinya bahwa sekolah yang ia kelola tak akan memungut biaya sedikitpun. 

Halaman rumah terkadang menjadi tempat belajar-mengajar


Kini setelah setahun lebih sekolah itu ada, Cucu boleh sedikit berbangga karena jumlah siswanya sudah bertambah. Semakin banyak anak yang berminat mengenyam pendidikan di SMP terbuka, setelah menyadari bahwa selain gratis tempatnya pun relatif dekat sehingga bisa dicapai dengan berjalan kaki, tak perlu keluar ongkos transpor sepeserpun. Apalagi waktunya di siang hari, bisa dilakukan setelah bekerja.

Usai menonton kisah Cucu Sumiati dan Gunawan, saya lantas tergerak untuk mengetahui lebih banyak tentang SMP terbuka. 

Mengutip dari laman http://smpterbukaindonesia.blogspot.com, inilah referensi yang saya dapatkan mengenai SMP terbuka:

SMP Terbuka merupakan salah satu subsistem pendidikan formal yang menggunakan prinsip belajar  mandiri, yaitu belajar dengan bantuan seminimal mungkin dari orang lain.

Adanya sistem SMP terbuka disebabkan luasnya wilayah Indonesia dengan berbagai kondisi geografis yang sulit, kondisi ekonomi sebagian masyarakat yang masih lemah, dan berbagai faktor lainnya yang berakibat pada terbatasnya layanan pendidikan bagi anak - anak usia 13 - 18 tahun. 

SMP Terbuka bertujuan memberikan kesempatan belajar yang lebih luas kepada anak - anak lulusan SD / MI atau sederajat yang tidak dapat mengikuti pendidikan di SMP Reguler karena berbagai hambatan yang dihadapinya. SMP Terbuka terdiri dari satu atau lebih Tempat Kegiatan Belajar(TKB) dan dalam operasionalnya menginduk pada SMP Negeri. TKB yang dikelola langsung oleh SMP Induk disebut TKB Reguler, sedangkan TKB yang dikelola masyarakat yang peduli terhadap pendidikan disebut TKB Mandiri (TKBM). 

Dengan konsep belajar mandiri, siswa tidak harus setiap hari belajar di SMP Induknya, selama 3, 4, atau 5 hari mereka belajar di TKB masing - masing. sedangkan 3 atau 2 atau 2 hari mereka belajar di SMP Induknya. Waktu belajar mereka lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kondisi siswa, biasanya dilakukan pada siang hingga sore hari karena pada umumnya siswa bekerja membantu orang tua pada pagi harinya.

Sumber belajar utama Siswa SMP Terbuka berupa modul. Bahan ajar lainnya seperti LKS, Buku Paket, VCD pembelajaran dan lainnya juga digunakan siswa dalam belajar.


Pelaksanaan pembelajaran di TKB siswa dibimbing oleh guru pamong, sedangkan pembelajaran di SMP Induk dibimbing oleh guru bina dari sekolah induk.

Visi :
SMP Terbuka yang mandiri dan berkualitas, mutu lulusannya sama dengan lulusan SMP Reguler.

Misi :
SMP Terbuka yaitu untuk melayani anak - anak tamatan lulusan SD / MI yang berusia 13 - 18 tahun yang tidak dapat mengikuti pendidikan di SMP Reguler. 

Lulusan SMP Terbuka sama dengan lulusnya SMP Reguler, dengan menerima Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SMP. Hal ini berarti bahwa lulusan SMP Terbuka mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan lulusan SMP Reguler.

Sejak terselenggaranya SMP Terbuka pada tahun 1979, semua siswa yang belajar di SMP Terbuka tidak dipungut biaya. sedangkan untuk menjamin agar semua siswa dapat mengikuti pendidikan hingga lulus, setiap bulannya mereka diberi beasiswa. Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional menyalurkan dana operasional untuk SMP Terbuka melalui mekanisme "BOS" seperti halnya "BOS" untuk SMP Reguler. Selain memberikan dana operasional sekolah, pemerintah juga menyalurkan bantuan sosial penyelenggaraan program pendidikan keterampilan (PPK) dengan tujuan untuk memberikan bekal keterampilan bagi setiap siswa SMP Terbuka agar setelah lulus dan tidak melanjutkan pendidikannya mereka dapat memanfaatkannya dalam kehidupan di Masyarakat.

Menurut saya konsep serta visi-misi SMP terbuka sangatlah baik. Jangankan untuk di daerah, faktanya di perkotaan saja masih sering saya lihat di televisi ada gedung sekolah yang rusak namun belum diperhatikan oleh pemerintah. Untuk Jakarta saja tercatat sebanyak 306 gedung sekolah rawan ambruk. Atau tak jarang bukan kita melihat tayangan mengenai siswa yang terpaksa harus melewati sungai atau jembatan yang membahayakan sekedar untuk bisa bersekolah?





Indonesia membutuhkan lebih banyak guru seperti Cucu Sumiati dan Gunawan. Di tangan guru-guru seperti mereka--yang betul-betul mengajar tanpa pamrih, akan lahir siswa-siswa yang berprestasi dengan didasari motivasi yang tinggi. Bagaimana tidak tinggi? Sepotong motivasi yang lemah tentu tak akan mampu membuat siswa bertahan untuk belajar di sebuah gedung sekolah yang 'tak bernama' seperti SMP terbuka. Dengan fasilitas seadanya, bahkan seragam dan sepatu pun hasil sumbangan dari masyarakat, guru sukarelawan seperti Cucu Sumiati dan Gunawan pastinya harus ekstra menumbuhkan semangat dan keyakinan para siswa bahwa mereka pasti bisa meraih cita-cita.

Semoga akan semakin banyak individu yang rela menjadi pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini. Membagikan ilmu dan waktu yang mereka miliki demi meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Jika Anda bertanya, apa kiprah saya terkait isyu ini? Jujur saya katakan belum berani berkomitmen untuk terjun langsung ke lapangan. Tapi sebagai penulis saya akan terus berjuang melalui tulisan untuk bisa membantu anak-anak putus sekolah. Selama ini royalti yang saya peroleh pun sebisa mungkin saya sisihkan untuk membantu siswa yang kesulitan biaya sekolah melalui sebuah lembaga sedekah online. Insya Allah saya akan konsisten melakukannya.

Mimpi saya, suatu hari nanti tak ada lagi anak putus sekolah di Indonesia. Karena saya yakin bahwa kejayaan suatu negeri dimulai dari kecerdasan para tunas bangsanya.

Tulisan ini diikutsertakan dalam "Lomba Blog Indonesia Berkibar".










Referensi


Foto Cucu Sumiati diperoleh atas izin dari http://www.facebook.com/tuppershecan

No comments: