Monday, April 20, 2015

#BeraniLebih Tegas dan Stop Menyogok Anak


Pasca melahirkan putera kedua pada November 2013 lalu, adalah salah satu masa sulit dalam hidup saya. Bukan perkara baby blues syndrome, melainkan sulitnya menghadapi kecemburuan si sulung-Gaza terhadap adiknya-Bilal. Jika saat adiknya masih di dalam kandungan ia cuma cemberut dan ngambek, setelah lahir ia ‘hobi’ menjahili adiknya. 

Karena tak mau pusing, walhasil saya mulai suka menjanjikan hadiah pada Gaza. Setiap ia mau menjahili adiknya, saya segera melakukan tindakan ‘preventif’. 

"Jangan cubit ya, nanti Bunda beliin es krim." 

Atau "Mainan jangan dijejerin di samping Bilal. Kalo mau rapihkan, nanti weekend berenang." 

Janji-janji manis saya sampaikan hanya demi si sulung bersikap manis pada adiknya. Awalnya it works! Tapi itu hanya bertahan hitungan hari. Selanjutnya perilaku jahilnya kembali bikin emosi nak, seperti membalik badan adiknya yang baru berusia sebulan dan tertawa girang karena katanya adiknya tampak seperti kura-kura. Saya kesal. Sejak itu saya mulai suka memarahi, membentak bahkan mencubit kaki Gaza. Suatu perbuatan yang selalu saya sesali tak sampai lima menit setelah dilakukan. 

Puncak perilaku mengesalkan Gaza adalah saat suatu hari, waktu kami sedang berada di pertokoan, ia meminta mainan.yang saya tak kabulkan. 

Eh mendadak dia nyeletuk "Kalo nggak dibeliin, Gaza nakalin Bilal nih. Ayo pilih mana?" 

Betapa terpukul saya mendengarnya. Putera sulung saya yang baru berusia 4 tahun sudah bisa mengancam? Hampir saya mengomelinya jika saja tak keburu sadar bahwa saya  punya andil besar dalam membentuk perilaku buruk ini. Sogokan yang saya lakukan atas nama ‘keadilan’ dan ‘ketenangan’, malah menjadi bumerang. 

Saya menangis karena merasa menjadi Ibu yang gagal dalam mendidik anak. Saya merasa nol besar, padahal saya adalah sarjana psikologi yang concern di bidang pendidikan anak dan remaja. Entah menguap kemana semua ilmu saya saat itu. 

Berulangkali saya menyalahkan diri. Hingga akhirnya saya sadar kalau terus begini bisa jadi masalah baru. Stres kan bisa mengurangi produksi ASI. Dan jelas itu tak baik untuk Bilal di masa ASI eksklusif.

Bismillaah, berbekal sisa ilmu parenting yang masih tertinggal, dukungan suami dan keyakinan yg besar bahwa Allah akan menolong, saya pun bangkit. Saya belajar untuk #BeraniLebih tegas pada Gaza. Saya juga mulai mengurangi reward atas kebaikan yang dilakukannya. Saya ajarkan padanya, bahwa kebaikan dilakukan sebaiknya diniatkan agar Allah ridha, bukan dapat hadiah. 

Awalnya sulit. Seringkali saya merasa tak tega dengan rengekannya yang menghadirkan binar mata permohonan, atau terganggu dan malu dengan jeritannya. Tapi saya ingat bahwa lingkaran setan "nakal-disuap-mengancam nakal" ini harus diakhiri sedini mungkin kalau tak ingin terlanjur melekat dan sulit diubah. Tutup mata, tutup kuping, sambil mulut terus berzikir. Untuk kebaikan bersama, saya harus #BeraniLebih tegas, bahkan mungkin tampak jadi raja tega di hadapan Gaza. 

Hey Nak, percayalah ini untuk kebaikanmu kelak. 
Berulangkali saya bisikan itu saat memeluknya dikala tantrum. 

Alhamdulillaah perjuangan itu membuahkan hasil setelah beberapa bulan. Kini Gaza, putera sulung saya sudah jarang tantrum jika menginginkan sesuatu. Sesekali ada, tapi masih dalam batasan wajar. Perilaku jahil terhadap adiknya pun sudah jauh berkurang. Yang terpenting kini ia sudah paham bahwa jeritan tak mempan lagi untuk membuat Bundanya menuruti kemauannya, apalagi memohon dengan sogokan.



Pritha Khalida
Facebook Pritha Khalida
Twitter @PrithaKhalida

2 comments:

Rahmi Aziza said...

Anak menjadikan itu sebagai senjata ya mbak, supaya bundanya mau menuruti kemauannya. Anakku juga hampir sama nih, kadang suka ngusilin adeknya, tapi kadang bisa manis banget dan ngemong

Yosi Suzitra said...

Beruntungnya mb Prita cepat sadar ya. Salam buat Gaza dan Bilal.