Tuesday, June 23, 2015

Tentang Buku ‘Rumah Tangga’-nya Fahd Pahdepie

Rumah Tangga -- Fahd Pahdepie

Aku bangun dengan cinta,
Kau rawat dengan doa.
Demikianlah kita,
Berumah di tangga,
menuju surga

Demikian puisi pertama yang akan ditemui dalam buku karya Fahd Pahdepie ini. Membuat saya—yang sebelumnya tak punya bayangan sedikitpun tentang isi buku ini, mendapat sedikit bocoran, bahwa tulisan yang ada di dalamnya merupakan kisah nyata penulisnya dalam kehidupannya berumahtangga.

Kehidupan rumahtangga memang selalu menjadi hal yang manis untuk diceritakan, terlepas dari apakah itu kisah membahagiakan atau menyedihkan, membanggakan atau memalukan, bahkan jika pun itu sangat sederhana seumpama hanya tentang perkara isteri yang sedang malas memasak atau suami yang pelupa terhadap hal-hal remeh temeh. Semua itu selalu menarik untuk diceritakan, sebagai pembelajaran bagi siapapun yang belum mengalaminya atau ‘sarana berbagi’ untuk yang sedang mengarungi biduk yang sama. Paling tidaknya kisah-kisah sederhana tentang ini akan membuat pembacanya bilang, “Iya ya, suami gue gitu tuh.” Atau “Hmm, isteri gue banget, nih!”

Saya tak menghitung berapa tepatnya jumlah bab yang ditulis oleh Fahd dalam buku setebal 296 halaman ini. Yang jelas, buku ini berkisah tentang banyak hal mengenai kehidupan rumahtangga pasangan Fahd Pahdepie dan istrinya, Rizqa selama lima tahun usia pernikahan mereka. Cerita pembuka dan penutupnya sungguh manis, di mana di halaman awal dengan runut Fahd menceritakan ‘kronologis’ prosesi pernikahannya , dimana perasaannya campur aduk tak karuan saat menjelang ijab Kabul hingga akhirnya kata ‘Sah!’ terdengar menggema di sekelilingnya. Sementara di bagian akhir dituliskan bagaimana penghayatannya akan makna lima tahun bersama sang isteri beserta harapan-harapannya.

Puisi-puisi tentang cinta bertaburan dalam buku terbitan Panda Media ini. Cinta yang sederhana dari seorang suami pada isterinya tentu, bukan cinta yang mendayu-dayu nan mewah sepasang kekasih yang kasmaran. Seperti ini salah satunya:

…Apapun yang membahagiakanmu
sementara aku mulai mencicil
lemari, TV, kulkas, mesin jahit,
halaman belakang tempat anak-anak kita
bermain atau berlarian sambil tertawa

Tak melulu tentang cinta dan pernikahan, Fahd Pahdepie juga memasukkan beberapa kisah mengenai kehidupan keluarganya sebelum menikah; tentang keinginan Ibunya yang demikian besar— untuk dapat mengunjungi Baitullah—namun berpikir bahwa hal itu amat mustahil, hingga mengurai sebuah janji yang kelak menorehkan pedih. Ada pula puisi dan nasehat yang diberikan untuk adiknya—Futih, saat sang adik akan menikah dan kisah tentang anak-anaknya yaitu Kalky dan Kemi. Yang paling menyentuh menurut saya adalah saat Fahd menuliskan surat untuk puterinya, dimana surat tersebut berniat diberikannya saat sang puteri menginjak usia dua belas. Detail-detail kalimatnya sungguh menarik, dimana salah satunya ia bertanya apakah saat itu puterinya menyukai matematika atau tidak? Simpel, tapi sepertinya memang urusan itulah yang akan jadi salah satu ‘big issue’ bagi seorang gadis dua belas tahun selain—mungkin—masa puber yang hendak atau sedang dijalaninya.

Masih banyak kisah-kisah yang diceritakan dalam buku yang covernya berwarna pastel nan lembut ini. Ah tidak, jangan berharap cerita-cerita ‘heroik’ yang bisa menumpahkan banyak airmata atau kisah-kisah kehidupan keluarga berlatar ekonomi sulit yang diperjuangkan dengan darah dan keringat hingga akhirnya beroleh kejayaan ala sinetron kebanyakan, kumpulan kisah yang ada dalam buku ini tidak serumit itu. Seperti sebagian besar pasangan muda di kota besar, permasalahan yang dialami keluarga kecil ini (paling tidaknya yang bisa kita baca di dalam buku) hanyalah sebatas sisa uang yang hanya beberapa lembar—sementara tanggal gajian masih jauh atau saat mereka bermotor ditemani belaian debu—sementara di sisi kanan beberapa merk mobil yang diidamkan berulangkali menyalip. Kurang lebih itu saja. Namun tentu itu tidak mengurangi kenikmatan untuk mengunyah buku ini hingga suapan terakhir. Tetap sarat makna. Bahwa memang sebuah pernikahan tak harus selalu dramatis agar dapat menjadi inspirasi, namun penghayatan terhadap hal-hal yang tampak ‘sepele’ pun akan sangat bermanfaat jika bisa disikapi dengan proporsional.

Renyah dan manis. Hanya saja, mungkin, jika kalimat-kalimat percakapannya tidak dalam bahasa yang baku, buku ini akan terasa lebih ‘membumi’, tidak membuat pembaca merasa sedang mengikuti sebuah kisah fiksi. Tapi ya, tentu saja ini merupakan penilaian subjektif dari saya yang terbiasa menjalani keseharian dengan percakapan dalam bahasa yang tak baku.  Sementara sang penulis—Fahd Pahdepie, mungkin memang terbiasa bercakap-cakap dengan isterinya dalam bahasa yang baku.


Kumpulan kisah ini cocok dibaca untuk Anda yang sedang menuju bahtera pernikahan atau para pasangan muda yang masih sama-sama menjajaki kehidupan barunya sebagai suami isteri. Little thing big effect. Bahwa dalam rumahtangga, hal-hal kecil pun bisa memberi pengaruh yang besar. Itulah salah satu pesan yang saya tangkap dari buku ini.

1 comment:

alfyaulia said...

Pengen baca, tapi sudah biasa mengikuti lewat FBnya sih. Hehe.. O ya, setau saya anaknya Bang Fahd dua2nya putra.