Rumah Tangga -- Fahd Pahdepie |
Aku bangun dengan
cinta,
Kau rawat dengan doa.
Demikianlah kita,
Berumah di tangga,
menuju surga
Demikian puisi pertama
yang akan ditemui dalam buku karya Fahd Pahdepie ini. Membuat saya—yang
sebelumnya tak punya bayangan sedikitpun tentang isi buku ini, mendapat sedikit
bocoran, bahwa tulisan yang ada di dalamnya merupakan kisah nyata penulisnya
dalam kehidupannya berumahtangga.
Kehidupan rumahtangga
memang selalu menjadi hal yang manis untuk diceritakan, terlepas dari apakah itu
kisah membahagiakan atau menyedihkan, membanggakan atau memalukan, bahkan jika
pun itu sangat sederhana seumpama hanya tentang perkara isteri yang sedang
malas memasak atau suami yang pelupa terhadap hal-hal remeh temeh. Semua itu
selalu menarik untuk diceritakan, sebagai pembelajaran bagi siapapun yang belum
mengalaminya atau ‘sarana berbagi’ untuk yang sedang mengarungi biduk yang sama.
Paling tidaknya kisah-kisah sederhana tentang ini akan membuat pembacanya
bilang, “Iya ya, suami gue gitu tuh.” Atau “Hmm, isteri gue banget, nih!”
Saya tak menghitung
berapa tepatnya jumlah bab yang ditulis oleh Fahd dalam buku setebal 296
halaman ini. Yang jelas, buku ini berkisah tentang banyak hal mengenai
kehidupan rumahtangga pasangan Fahd Pahdepie dan istrinya, Rizqa selama lima
tahun usia pernikahan mereka. Cerita pembuka dan penutupnya sungguh manis, di
mana di halaman awal dengan runut Fahd menceritakan ‘kronologis’ prosesi pernikahannya
, dimana perasaannya campur aduk tak karuan saat menjelang ijab Kabul hingga
akhirnya kata ‘Sah!’ terdengar menggema di sekelilingnya. Sementara di bagian
akhir dituliskan bagaimana penghayatannya akan makna lima tahun bersama sang
isteri beserta harapan-harapannya.
Puisi-puisi tentang
cinta bertaburan dalam buku terbitan Panda Media ini. Cinta yang sederhana dari
seorang suami pada isterinya tentu, bukan cinta yang mendayu-dayu nan mewah
sepasang kekasih yang kasmaran. Seperti ini salah satunya:
…Apapun yang
membahagiakanmu
sementara aku mulai
mencicil
lemari, TV, kulkas,
mesin jahit,
halaman belakang tempat
anak-anak kita
bermain atau berlarian
sambil tertawa
Tak melulu tentang
cinta dan pernikahan, Fahd Pahdepie juga memasukkan beberapa kisah mengenai
kehidupan keluarganya sebelum menikah; tentang keinginan Ibunya yang demikian
besar— untuk dapat mengunjungi Baitullah—namun berpikir bahwa hal itu amat
mustahil, hingga mengurai sebuah janji yang kelak menorehkan pedih. Ada pula
puisi dan nasehat yang diberikan untuk adiknya—Futih, saat sang adik akan
menikah dan kisah tentang anak-anaknya yaitu Kalky dan Kemi. Yang paling
menyentuh menurut saya adalah saat Fahd menuliskan surat untuk puterinya,
dimana surat tersebut berniat diberikannya saat sang puteri menginjak usia dua
belas. Detail-detail kalimatnya sungguh menarik, dimana salah satunya ia
bertanya apakah saat itu puterinya menyukai matematika atau tidak? Simpel, tapi
sepertinya memang urusan itulah yang akan jadi salah satu ‘big issue’ bagi
seorang gadis dua belas tahun selain—mungkin—masa puber yang hendak atau sedang
dijalaninya.
Masih banyak
kisah-kisah yang diceritakan dalam buku yang covernya berwarna pastel nan
lembut ini. Ah tidak, jangan berharap cerita-cerita ‘heroik’ yang bisa
menumpahkan banyak airmata atau kisah-kisah kehidupan keluarga berlatar ekonomi
sulit yang diperjuangkan dengan darah dan keringat hingga akhirnya beroleh
kejayaan ala sinetron kebanyakan, kumpulan kisah yang ada dalam buku ini tidak
serumit itu. Seperti sebagian besar pasangan muda di kota besar, permasalahan
yang dialami keluarga kecil ini (paling tidaknya yang bisa kita baca di dalam
buku) hanyalah sebatas sisa uang yang hanya beberapa lembar—sementara tanggal gajian
masih jauh atau saat mereka bermotor ditemani belaian debu—sementara di sisi
kanan beberapa merk mobil yang diidamkan berulangkali menyalip. Kurang lebih
itu saja. Namun tentu itu tidak mengurangi kenikmatan untuk mengunyah buku ini
hingga suapan terakhir. Tetap sarat makna. Bahwa memang sebuah pernikahan tak
harus selalu dramatis agar dapat menjadi inspirasi, namun penghayatan terhadap
hal-hal yang tampak ‘sepele’ pun akan sangat bermanfaat jika bisa disikapi
dengan proporsional.
Renyah dan manis. Hanya
saja, mungkin, jika kalimat-kalimat percakapannya tidak dalam bahasa yang baku,
buku ini akan terasa lebih ‘membumi’, tidak membuat pembaca merasa sedang
mengikuti sebuah kisah fiksi. Tapi ya, tentu saja ini merupakan penilaian
subjektif dari saya yang terbiasa menjalani keseharian dengan percakapan dalam
bahasa yang tak baku. Sementara sang
penulis—Fahd Pahdepie, mungkin memang terbiasa bercakap-cakap dengan isterinya
dalam bahasa yang baku.
Kumpulan kisah ini
cocok dibaca untuk Anda yang sedang menuju bahtera pernikahan atau para
pasangan muda yang masih sama-sama menjajaki kehidupan barunya sebagai suami
isteri. Little thing big effect. Bahwa dalam rumahtangga, hal-hal kecil pun
bisa memberi pengaruh yang besar. Itulah salah satu pesan yang saya tangkap dari
buku ini.
1 comment:
Pengen baca, tapi sudah biasa mengikuti lewat FBnya sih. Hehe.. O ya, setau saya anaknya Bang Fahd dua2nya putra.
Post a Comment