Fixiano karya Gabriel Fabiano aka Ian |
Hitam…Biru tua… Naga merah yang sedang merentangkan sayapnya
di angkasa.
Sebelum mulai membaca buku ‘Fixiano’ karya Gabriel
Fabiano—atau yang akrab disapa Ian ini, saya sempat mengernyitkan kening, “Ini
buku anak-anak? Kok covernya gelap?”
Biasanya kan—setahu saya, cover buku yang ditulis oleh
anak-anak itu colourfull dengan ilustrasi manis. Tapi, seperti biasa, saya
adalah penganut paham ‘Never Judge A Book By It’s Cover’. Jadi, sedikit mengabaikan
sang cover yang tak secerah buku karya anak-anak pada umumnya itu, saya pun
mulai membaca buku yang Kata Pengantar-nya ditulis oleh Kak Seto ini.
Kumpulan fiksi ini dimulai dengan kisah ‘The Watermelon Bell’
yang mengisahkan persahabatan antara dua anak yaitu Arnold dan Alexa yang
berlanjut hingga mereka dewasa. Petualangan seru bermain bersama di menara
Watermelon Bell yang terbatas saat masih kecil—dikarenakan selalu membuat
khawatir orangtua masing-masing, berlanjut saat mereka sudah berusia dua puluh
tahun. Arnold dan Alexa berlomba adu cepat menunggang kuda, dimana pemenangnya
adalah yang lebih dulu bisa mencapai menara The Watermelon Bell dan membunyikan
loncengnya. Cerita cukup singkat hingga Arnold memenangkan lomba ini. Namun
ternyata petualangan yang sesungguhnya belum selesai. Ada peristiwa super
menegangkan yang berakibat buruk pada Alexa setelah lonceng itu dibunyikan oleh
Arnold, dimana pemuda itu terpaksa harus kehilangan sahabatnya yang dikutuk
menjadi wujud lain. Tantangan demi tantangan harus diselesaikan Arnold agar
bisa membuat sahabatnya kembali jadi manusia. Berhasilkah Arnold? Silakan baca
sendiri kelanjutan kisahnya.
Kelincahan pemikiran Gabriel Fabiano—penulis yang baru
berusia 11 tahun ini, tampak dalam rangkaian alur yang cepat namun tetap
memperhatikan detail, hingga tak tampak kejanggalan dari awal hingga akhir
cerita.
Tak hanya menceritakan kisah fiksi fantasi, dalam buku yang
diterbitkan oleh Sinotif Publishing ini, penulis juga menyajikan fiksi yang
diangkat dari kisah kehidupan sehari-hari. Salah satunya bisa dilihat dalam
cerita berjudul “Teddy Blue”, yang menceritakan seorang anak bernama Mill-mill
dengan rencana hadiah kejutan untuk ulangtahun Ibunya. Simple but smart.
Di buku perdananya ini, penulis juga tampak sangat piawai
dalam memberi nama tokoh-tokoh dalam ceritanya. Bukan nama ‘umum’, tapi nama
yang khas ada dalam dongeng-dongeng fantasi.
Contohnya saja pada kisah ‘Perfectionist’, benda-benda yang menjadi tokoh di
sini adalah sepasang sandal jepit bernama Stella, sebotol Parfum bernama Pinky,
Mike The Mirror (sebuah kaca dinding), headphone bernama Hanna dan Henno, scarf
bernama Sara serta gula-gula kapas bernama Kenny Kotton Kandy. Dan yang tak
kalah membuat saya tergelak adalah nama restoran Sushi Similikity. Lucu,
matching dan bikin cerita semakin terasa nyata.
Ilustrasi kisah 'Perfectionist' yang manis |
Dalam buku setebal 130 halaman ini, penulis tak hanya
menyuguhkan kisah, namun di setiap akhir cerita pendeknya yang berkisar 4-8
halaman ini juga dibubuhkan satu pesan moral. Salah satu yang saya suka adalah
pesan yang disampaikannya pada cerita pamungkas berjudul ‘Euforia’, yaitu: Jika
kita dapat berkarya lebih dari apa yang kita inginkan, lakukanlah. Apalagi,
jika kita dapat membantu banyak orang lain di sekitar kita.
Singkat kata, menurut saya, buku dengan ilustrasi penuh
warna menarik di setiap kisahnya ini, keren banget.
2 comments:
kepengen punya dan baca bukunya :)
Gabriel fabiano itu temen gw , skrng umur 13 tp masih kontet... Dan pinter wkwkwkwkwk
Post a Comment